Kikkuk! kikkuk! Bising sekali suara jam dinding itu. Ujang jadinya tak bisa tidur nyenyak. Setiap satu jam dia berbunyi kikkuk-kikkuk.
“Belum tidur Ujang?” tanya Ibu. Ujang cemberut sambil berjalan ke dekat Ibu. “Masih memusingkan jam dinding itu?”
“Iya, Bu. Ujang tak bisa tidur nyenyak.”
Jam kikkuk itu dibeli Ayah dua hari lalu. Sebenarnya Ayah tak ingin membelinya, karena masih ada kebutuhan lain yang lebih penting. Tapi karena Pak Mukiat, pemilik jam kikuk itu, butuh uang, akhirnya Ayah jatuh kasihan. Setelah meminta ijin kepada Ibu, Ayah kemudian membeli jam kikkuk itu.
“Bukankah suara jam itu lucu!” Kak Fatimah ikutan nimbrung. Dia baru saja selesai mengerjakan pekerjaan rumahnya.
“Lucu apaan!” Ujang tambah cemberut.
“Lihat, setiap jam kikkuk berbunyi, burung-burungan di dalamnya selalu muncul. Lagi pula, jam itu tak membutuhkan batere. Kalau jarum jamnya mulai lambat berjalan, Ayah tinggal memutar penguncinya. Hebat, kan!”
“Iya! Harusnya Ujang bersyukur bisa mempunyai jam kikkuk yang lucu.”
Tapi karena wajah Ujang selalu cemberut setiap malam, Ayah memutuskan menjual jam kikuk itu ke tukang loak. Harganya lebih murah ketimbang harga pembelian Ayah dari Pak Mukiat. Namun demi kebahagiaan Ujang, apapun Ayah lakukan.
“Hai, wajahmu cerah pagi ini. Lain dari pagi-pagi kemarin. Aku tahu, uang jajanmu bertambah, ya?” Fikri menjejeri langkah Ujang.