Buku pr matematika milik Mita hilang. Seisi rumah sibuk mencarinya. Ayah tidak sadar sudah terlambat berangkat ke kantor. Ikan lele yang digoreng ibu hampir gosong. Wajah adik berlepotan bubur. Dia menangis keras-keras.
“Kau taruh di mana bukumu, Mita?” tanya ibu sambil membongkar laci meja.
“Setelah membuat pr tadi malam, rasanya aku taruh di atas meja, Bu,” keluh Mita. Dia duduk lesu sambil mengelap keringat di kening.
“Kok rasanya? Eh, bau apa itu? Ikan leleku....” Ibu berlari ke arah dapur. Ayah yang sadar sudah terlambat berangkat ke kantor, buru-buru menggendong adik. Adik diserahkan ayah kepada ibu. Lalu dia keluar rumah. Tinggal Mita sendirian di dalam kamar yang seperti kapal pecah.
Pukul sembilan pagi, akhirnya Mita terpaksa berangkat ke sekolah tanpa buku pr matematika. Satu jam lagi jam pertama dimulai. Dia memanfaatkan duduk di kantin sambil mengerjakan pr matematika di buku baru..
Meskipun dengan keringat bercucuran dan tangan pegal-pegal, akhirnya pr matematika itu selesai juga. Kalau tidak, dia bisa disuruh berdiri di depan kelas oleh Pak Sapto.
“Untunglah pr matematikaku bisa selesaikan. Kalau tidah, ah...,” kata Mita saat pulang sekolah.