Baru empat hari berpuasa, tapi bagi Adul sudah seperti sebulan. Pagi itu saja, perutnya telah keroncongan. Dia berusaha menahan lapar sambil menonton film kartun.
“Bu, Adul batalin puasa saja, ya?” katanya merayu. Ibu sedang menyusun belanjaan ke dalam lemari es. Dia seolah tak mendengar rayuan Adul. “Bu!”
Ibu menoleh. Dia mengelus kepala Adul. “Masa’ masih jam delapan sudah mau batalin puasa. Makanya, Minggu begini, jangan nonton tivi terus. Badan jadi lemas dan lesu. Sudah, pergi main sana.” Ibu mematikan tivi. Malas-malasan Adul pergi keluar rumah.
Di lapangan bulu tangkis sudah ramai kawan-kawan Adul. Ada yang main kejar-kejaran, ada juga perang-perangan.
“Main yok, Dul!” ajak Fikri.
“Malas, ah! Lapar dan haus, nih!” Adul duduk di pinggir lapangan. Perutnya semakin keroncongan.
“Hahaha! Lapar dan haus? Apa kau nggak puasa?” ledek Fikri. Teman-teman lain juga ikut meledek. Meskipun sudah kelas lima SD, ternyata Adul belum puasa. Pantas saja perutnya buncit.
“Siapa yang nggak puasa? Aku puasa kok. Cuma, rasanya lapar dan haus sekali.” Adul membela diri.