Esti duduk di kelas enam esde, tapi dia sudah jago memasak. Hampir setiap pagi dia membantu ibu di dapur. Meskipun sesekali dilarangnya, Esti selalu memiliki alasan yang membuat hati sang ibu luluh. “Esti tak ingin melihat Ibu kecapekan,” katanya sambil tersenyum tulus.
Suatu senja, Esti belajar kelompok di rumah Yuni. Setelah satu jam mereka belajar kelompok, ibu Yuni datang dari dapur membawa makanan. “Nah, ini ada makanan buat kalian. Yang rajin ya belajarnya!”
Esti dan teman-temannya bukan main senangnya. Hujan di luar turun rintik-rintik. Dengan makanan yang masih mengebul itu, cukuplah membuat badan hangat. Makanan itu sangat enak. Kalau tak malu, Esti hampir makan dua piring. Timbul niat dalam hati Esti memasak makanan serupa. Bukankah besok ayah ulang tahun? Hmm, pastilah ayah suka makanan itu.
Sebelum pulang belajar kelompok, Esti malu-malu menemui ibu Yuni. “Tante, nama makanan tadi apa, ya? Rasanya kok enak banget!”
“Oh, itu namanya kolak biji salak. Rasanya memang enak. Kenyal-kenyal. Cara buatnya hampir sama seperti membuat kolak pisang. Bahannya....” Ibu Yuni tak melanjutkan pembicaraannya. Bau gosong dari arah dapur membuatnya harus meninggalkan Esti.
“Kolak biji salak?” gumam Esti kebingungan. “Ah, aku pasti bisa membuatnya!” Dia berlari mengejar teman-temannya yang sedang menunggu angkutan kota di pinggir jalan.
Kebetulan besok paginya tanggal merah. Esti permisi kepada ibu karena mau berbelanja ke pasar. Dia mau membeli bahan-bahan untuk hidangan spesial buat ayah tercinta.