Setelah Shalat Maghrib, anak-anak Panti Asuhan Kasih Ibu berkumpul di rumah Haji Senen. Dia sedang ada hajatan, memberikan santapan besar untuk anak-anak panti.
Adit, salah seorang anak di antara mereka, senang bukan main. Sejak sore dia sudah mengosongkan perut. Dia ingin makan sepuasnya. Kapan lagi bisa makan enak kalau bukan di tempat hajatan.
“Kita harus sopan. Jangan ada yang rebutan makanan! Itu malu-maluin panti asuhan kita,” kata Kak Fikri saat mereka menuju rumah Haji Senen. Anak-anak mengangguk setuju.
Saat mulai hajatan, mata Adit jelalatan terus melihat meja hidangan. Membaca Al-fatiha saja lidahnya tak lagi lurus. Beberapa kali Ijon menyenggol rusuknya, tetap saja anak itu tak sadar. Air liurnya menetes bertetes-tetes.
Selesai doa, Haji Senen mempersilakan tamu mencicipi hidangan. Adit langsung menghambur, menyelinap di antara antrian Pak Ustadz dan Pak Lurah. Kak Fikri hanya bisa menggeleng-geleng kesal melihat tingkah anak didiknya itu. Untung saja Pak Ustadz dan Pak Lurah hanya tersenyum geli.
Nah, ini dia musuh Adit! Semangkok besar rendang daging membuat matanya melotot. Dia bertambah melotot melihat potongan daging rendang yang paling desar. Diam-diam dia menanam potongan daging raksasa itu di dalam nasinya, lalu mengambil lagi sepotong daging berukuran kecil.
Adit kemudian duduk di sebelah Ijon yang tetap sabar menunggu giliran. Kata Ijon, “Tumben sekali, Adit. Laukmu hanya sepotong rendang. Biasanya sampai tiga potong. Tapi, nasimu tetap segunung.”