Bagi sepasang kekasih yang sudah menjalin hubungan cukup lama, pernikahan menjadi tujuan selanjutnya. Itu memang bukan akhir perjalanan cinta, tetapi menjadi sebuah pembuktian keseriusan dua belah pihak. Aku dan dia.
Malam ini setelah menonton konser musik, aku menghentikan laju motor di tengah jalan. Malam itu jalanan sudah sepi, gerimis mulai turun. Aku menarik dua pergelangan tangan gadis di belakangku. Dia Vina, pacarku.
"Eh," Vina terkejut. "Kenapa?" tanyanya.
"Gerimis, aku mau ngebut, pegangan yang bener."
Kulihat dari spion Vina tersenyum. Lantas dia beralih memelukku kencang dari belakang.
"Begini?" tanyanya sambil terkekeh, dan menempelkan dagu dengan manja di pundak kananku.
Aku tertawa karena merasakan sesuatu yang empuk menempel di punggung. "Lebih juga boleh," kataku meledek.
Vina mencubit perutku, hingga aku memekik sakit.
Kami lantas melanjutkan perjalanan. Aku mengebut agar cepat sampai di rumah Vina.
Kami sudah pacaran selama tiga tahun. Hubungan kami juga baik-baik saja. Hampir tidak pernah ribut. Ya ... kesal-kesal sedikit ada, lah. Tetapi, kami sebisa mungkin untuk tidak memperbesar setiap masalah yang datang.
Vina gadis yang lebih tua empat tahun dariku. Meski begitu, dia sama sekali tidak terlihat lebih tua. Tubuhnya kecil, dan dia cukup pendek. Orang-orang bilang, yang memiliki tubuh pendek akan terlihat lebih muda dari usia sebenarnya. Itu yang terjadi pada Vina.
Untungnya, Vina sangat dewasa. Setiap ada masalah, dia selalu mengajakku untuk membicarakannya baik-baik.
Teman-temanku bahkan pernah bilang, mereka iri denganku karena bisa mendapatkan Vina. Mereka berpesan agar aku jangan sampai membuatnya sakit hati. Berselingkuh misalnya.
Tapi, selama ini sama sekali tidak terbesit keinginan macam itu. Lelaki mana yang tega berselingkuh dengan wanita lain, sedangkan pacarnya sendiri sudah lebih dari kata sempurna. Cantik, pintar, baik, pengertian, dewasa. Ah ... pokoknya paket lengkap.
Jahat sekali rasanya kalau aku sampai berani melakukan itu.
Tidak akan. Aku tidak akan melakukannya.
Aku mengehentikan motor di depan rumah yang megah. Selain cantik dan pintar, Vina adalah anak dari seorang pengusaha kaya raya. Tetapi, orang tuanya memang jarang di rumah. Mereka selalu sibuk bekerja di luar kota. Aku sering mengajak Vina jalan-jalan karena memang dia sering mengeluh kesepian dan bosan di rumah sendirian.
Vina memberikan helm milikku yang tadi dipakainya.
"Makasih buat malam ini, ya, Rey. Konsernya seru!" Gadis itu mengacungkan dua jempol di depan wajahku.
Aku mengangguk lantas melirik keadaan rumahnya yang hampir setiap hari memang sepi. Hanya sesekali kadang aku melihat beberapa asisten rumah yang sedang bersih-bersih.
"Papa mamamu belum pulang?" tanyaku.
"Kenapa? Kamu mau main?"
"Enggak."
"Kamu belum pernah main ke rumah, loh," ucapnya dengan wajah polos.
"Aku takut."
"Takut kenapa?"
"Takut nanti terjadi hal-hal yang diinginkan."
Vina melotot, lantas mencubit perutku.
"Vin!" aku mendesis kesakitan.
"Lagian mikirnya yang iya iya aja," ucapnya dengan mengerucutkan bibir.
Astaga, imut sekali.
Aku menelan ludah dan mengusap tengkuk saat tak sengaja memperhatikan bibirnya yang merah dan terlihat seperti jelly yang kenyal.
Aku menghirup napas dalam, memejamkan mata, berusaha untuk berpikir negatif. Eh, maksudku positif.
"Masuk sana!" kataku, sebelum aku tidak segan bertindak sesuai keinginan.
"Nyebelin, masa nggak pernah main ke rumah," ucapnya kesal.
"Papamu memangnya ada?"
Vina menggeleng.
"Aku akan ke rumahmu, kalau papamu ada di rumah," kataku
"Tapi, dulu-dulu papaku ada di rumah kamu tetep nggak mau main." Wajah Vina makin terlihat kesal.
"Aku cuma belum siap ketemu papamu."
"Kenapa?"
"Kenapa?" Aku mengulang pertanyaannya.
Aku kemudian menarik pergelangan tangan Vina, hingga dia selangkah lebih dekat.
"Cuma sesama lelaki yang tau alasannya," kataku dengan menyimpulkan senyum.
Kulihat wajah Vina memerah, aku baru sadar kalau wajah kami sudah cukup dekat, hingga pipi mulus Vina terpampang jelas. Aku bahkan sampai tidak bisa berhenti untuk terus menatapnya, meski dia terlihat sangat malu.
Sudah sedekat ini. Ah, apa kuteruskan saja? Tanggung!
Aku mengangkat pelan dagu Vina saat dia berusaha menundukkan wajah. Kulirik bibir jelly itu dengan penuh keinginan yang sejak tadi mengganggu pikiran.
"Rey," panggilnya lirih.
"Sst ... diem sebentar," balasku.
Aku menarik dagunya perlahan. Lalu sedikit memiringkan wajah saat bibir kami akan saling besentuhan.
Lantas ... plak! Rasa sakit mendera bibirku.
"Bangun, Rey!" seru Dodi. Dia tetangga sekaligus teman kuliah yang hampir setiap hari datang hanya untuk membangunkanku.
"Hari ini lo ngimpi apa, sampai bibir monyong-monyong begitu?" tanyanya.
Kemudian Dodi mengambil segelas susu di meja dekat tempat tidur. Tentu saja itu jatahku setiap pagi yang selalu disiapkan oleh asisten rumah tangga.
Mendengar pertanyaan itu, aku lantas tersenyum tipis di sela rasa sakit pada bibir.
Aku tidak menjawab, tapi Dodi menebak. "Mimpi basah, ya?"
Kami lantas saling tatap dan terdiam beberapa detik. Kemudian melepas tawa seolah tahu pikiran masing-masing.
"Hampir," ucapku.
Dodi yang masih terbahak melempar handuk tepat mengenai wajahku.
"Makannya, nikah sono! Pacaran lama-lama emang bisa tahan?!"
Aku menghela napas. Nikah katanya? Dodi tidak tahu, sudah berapa kali aku melamar Vina. Tetapi, gadis pujaanku itu selalu menolak dengan alasan ingin fokus dengan karir.
Apalah daya diriku ini yang masih di bangku kuliah. Belum jelas masa depannya seperti apa. Mendapatkan Vina saja aku merasa sangat beruntung.
"Gue udah tiga kali ngelamar dia, Dod."
Dodi lantas teralihkan dari roti selai yang sedang ia makan. Dengan mulut yang masih mengunyah, dia menghampiriku.
"Serius?!" Dia cukup terkejut.
"Tapi ditolak terus."
"Wah, itu tega, si," ucap Dodi.
"Udahlah, mungkin memang dia belum siap. Atau ya ... lo tau sendiri, gue masih anak kuliahan."
"Anak kuliahan yang udah punya usaha kafe kopi? Begitu maksudmu?"
Aku tersenyum simpul. "Mungkin itu belum cukup, Dod."
"Kalau dia serius sayang, itu udah lebih dari cukup, Rey. Emangnya dia mau nunggu kamu sesukses Papanya Google?"
Aku tersenyum tipis. "Entahlah, untuk sekarang, kata Vina si, yang penting jalanin dulu."
Dodi menggelengkan kepala. "Masih percaya sama kata-kata itu?"
"Maksudnya?"
"Menurut gue, kata-kata 'jalanin aja dulu' itu diucapkan oleh orang yang sedang merasa ragu."
"Jadi, Vina ragu sama gue?"
Dodi mengangguk-angguk. "Mungkin," katanya.