Saat kau terbangun nanti, aku yakin kau telah melupakan aku. Dan saat itulah aku bukan lagi saudari kembarmu―seperti yang kerap kau lontarkan kepadaku ketika kita bertengkar. Dan, saat hal itu benar-benar terjadi, mungkin aku sudah tergusur dari memorimu dan mendekam di dalam penjara alam bawah sadarmu. Tapi, tenang saja. Kau tidak perlu repot-repot mengingatku, sebab aku sudah terbiasa dibuang dan dilupakan.
Kau tentu masih ingat sepenggal kisah tentang asal-usulku yang pernah ibumu ceritakan pada kita di meja makan sore itu. Hem, kurasa kau masih ingat, sebab belum pernah kulihat wajahmu seserius hari itu. Kau duduk bertopang dagu membelakangi jendela, sinar matahari yang menerobos masuk membuat rambutmu yang tipis tergerai tampak memerah serupa rambut jagung.
“Kau hanya dibedong dengan kain tipis ketika Mama dan Papa menemukanmu dalam kondisi basah kuyup dan kedinginan.” Dengan suara bergetar, ibumu bercerita ikhwal kali pertama mereka menemukanku dalam sebuah dus di bawah pohon besar di halaman depan rumahmu. Semula mereka mengira aku sudah meninggal sejak satu atau dua jam yang lalu. Tapi, katanya, aku tiba-tiba menangis sangat keras ketika ibumu menyentuh pipiku.
Sama sepertiku, sedikit pun kau tidak menyela sewaktu menyimak ibumu bercerita hingga tuntas. Air mukamu kala itu menunjukkan ketertarikan seolah-olah kita sedang asyik mendengarkan kisah dongeng Putri Salju. Kau mungkin tidak tahu, tapi hatiku serasa diperas mendengar semua pengakuan ibumu. Mataku pedas. Benakku berharap semoga apa yang ibumu katakan sore itu adalah sebuah kebohongan, walaupun aku sendiri juga tahu bahwa itulah yang sesungguhnya terjadi.
Tidak butuh waktu lama bagi ibu dan ayahmu untuk mengadopsiku hari itu juga. Tanpa pikir panjang mereka langsung membawaku masuk ke rumahmu. Mereka merawatku dengan baik seperti mereka merawatmu. Bahkan mereka berbaik hati memberiku nama keluarga seperti yang kau sandang di belakang namamu. Bukan itu saja, mereka pun sepakat menetapkan tanggal lahir yang sama denganmu. Dan, ya, kita adalah anak kembar sejak saat itu.
Sejauh yang kuingat, tak ada perlakuan berbeda antara kau dan aku. Kita tumbuh bersama hingga remaja. Oleh ibumu kita benar-benar diperlakukan seperti halnya anak kembar. Baju kita selalu dibuat sama, baik motif, corak atau pun sentuhan warnanya. Ibumu bakal mengomel jika melihat kita keluar rumah dengan pakaian berbeda. Ibumu seolah tak ambil pusing dengan anggapan orang-orang di sekitar yang menganggap perlakuannya sungguh berlebihan, mengingat wajah dan kulit kita bahkan jauh dari kata mirip.
Ya, memang beitulah kenyataannya. Kau mewarisi setangkup bibir ibumu yang tipis, bulu matanya yang lentik, hidungnya yang bangir serta kulitnya yang seputih porselen. Caramu tersenyum juga mirip sekali dengannya. Kau baru akan terlihat mirip ayahmu hanya saat sedang kesal atau marah saja. Sementara aku… ah, entahlah. Aku tidak tahu wajah bulat serta kulit sawo matang ini lebih mirip Ibu atau Ayah kandungku. Tak ada yang bisa kutanyai. Tidak pada siapa pun.
“Kau tidak ingin mencari tahu siapa orangtua kandungmu?”
Kau tiba-tiba bertanya di suatu hari yang mendung di depan gerbang sekolah pukul dua siang. Entah mengapa, setiap kata yang kau lontarkan kian menambah kecepatan jantungku berdegup, sampai-sampai aku mengira jantungku bakal melompat keluar lewat rongga mulutku saat itu juga. Mau mulai mencari dari mana?
“Kurasa tidak perlu,” tukasku cepat. Dadaku sesak luar biasa. Angin yang bersilir-silir di kulitku terasa perih. Untuk apa aku harus repot-repot mencari mereka? Toh, mereka sendiri yang sudah membuangku, batinku. Terkadang, aku merasa akan jauh lebih baik ketika tidak tahu apa-apa perihal masa laluku.