Bau dupa seketika menyambutku di ambang pintu rumah duka. Baunya yang menyengat memaksaku sesekali mengusap hidung. Keheningan masih mengalir memenuhi setiap sudut-sudut ruangan yang biru dilumat duka. Aku melangkah masuk lambat-lambat menghampiri Mama, sebisa mungkin menghindari adegan bersinggungan bahu dengan beberapa kerabat yang datang melayat. Saat kusentuh punggungnya, Mama menoleh, merapatkan bibir seraya menyusut ujung matanya dengan sapu tangan. Tak ada secuil kata yang terucap, hanya riak air yang tak habis-habisnya menggenangi pelupuk matanya yang sipit.
“Nenek masih ngotot tidak mau keluar dari mobil, Ma.” Bisikku di telinga Mama yang dalam hitungan sepersekian detik terlihat seperti tersedak.
“Dasar tua bangka!” geramnya tertahan. Gurat-gurat emosi di wajah Mama pun berantakan. Kelopak matanya yang berkabut itu lalu tersedot ke dalam peti kayu yang memuat jasad kembarannya. Di sana Bibi Mei terbaring dalam damai. Mata sipitnya terpejam. Setangkup bibir pucat kebiruan itu kini tak lagi bergerak. Tak ada lagi keluhan rasa sakit. Yang tersisa hanya lengang. Sunyi.
Dalam posisi tidur panjang seperti itu bibi Mei terlihat mirip Mama---mata sipit, rambut hitam lurus dan kulit seputih pualam. Aku ingat, Mama pernah bercerita bahwa dulu waktu masih kecil orang-orang kerap salah menyebut nama mereka berdua, saking miripnya. Terlebih dengan pakaian yang mereka kenakan selalu dibuat serupa oleh Nenek.
Bau dupa kian merebak tercium. Liukkan asap-asap hio praktis menyusupkan sesak di dadaku. Jantungku sedikit menciut. Kurasakan pelupuk mataku mulai lembap, lalu satu per satu menetes di pipi.
*
Tak banyak yang bisa kugali dari sisa ingatan masa kanakku tentang Bibi Mei selain kejadian paling biru di malam basah belasan tahun yang lalu. Aku masih ingat, malam itu Mama mencoba menidurkanku dengan buku dongeng ketika terdengar suara teriakan sumpah serapah Nenek yang sedemikian keras di ruang tengah. Bak kesetrum listrik bertegangan tinggi, Mama melompat dari ranjang, melepaskan begitu saja buku dongeng di tangannya dan berhambur keluar.
Kuputuskan melompat turun dari ranjang, menyusul Mama guna mencari tahu apa yang terjadi. Dan… Langkahku terganjal begitu saja di ambang pintu manakala kulihat Bibi Mei tengah berlutut dan tak habis-habisnya menciumi kaki Nenek. Bahunya terguncang hebat, menahan isak tangis. Sementara tak jauh dari situ, Mama hanya bisa berdiri mematung dengan wajah tak kalah pias dari warna kelabu cat dinding di ruang tengah. Ada sebulir air mata yang kemudian berhasil lolos dari sudut matanya.
*
Sudah sepekan jasad bibi Mei dikremasi dan menjelma abu. Alih-alih dititipkan di rumah abu, oleh Nenek, abunya justru disimpan dalam sebuah guci keramik sewarna susu dan ditempatkan di sebuah kamar khusus yang kebetulan bersebelahan dengan kamarku―tentu saja setelah melewati perdebatan alot dengan Mama yang bersikeras ingin segera melarungkannya ke laut hari itu juga.
Percuma saja mendebat Nenek, selalu empat kata itu yang sering didengung-dengungkan Mama. Memang benar, sejauh ini Mama tidak pernah menang setiap kali berdebat dengan Nenek. Setelah Kakek wafat, satu-satunya yang dituakan di rumah ini adalah Nenek. Dituakan berarti dihormati. Dengan kata lain, Nenek punya hak veto yang tak bisa diganggu gugat di rumah ini.