Memang apa hebatnya seorang Kamal Aluvta sampai semua orang di sekolah tak kunjung berhenti membicarakannya sejak sepekan yang lalu? Selain punya tampang pas-pasan dengan jerawat besar-besar di kedua pipi, seingatku prestasinya juga biasa-biasa saja, cenderung melempem malah. Hmm, aku ngomong begini sebab aku sempat sekelas dengan Si Otak Udang itu waktu di kelas Sebelas. Yang kutahu, selain hobi tidur di kelas, Kamal kerap dihukum karena tidak membuat PR. Nilai ulangannya selalu anjlok hampir di semua mata pelajaran, dan tak jarang dipanggil guru untuk remedial. Dengar-dengar, dia bahkan pernah tidak naik kelas saat duduk di bangku Sekolah Dasar. Singkatnya, tak ada hal baik yang patut dicontoh darinya.
Well, sebut aku sombong. Namun kenyataannya, Kamal orangnya memang seperti itu. Dia jelas tidak ada apa-apanya jika dibandingkan denganku, kupikir seujung kuku pun tidak. Ibarat remahan rengginang dan hape android, begitulah perbedaan mencolok di antara kami. Bagiku, Kamal tak ubahnya tong kosong berukuran gigantis yang bahkan tak pernah terisi air selama bertahun-tahun.
Jangan salahkan aku kalau aku agak terkesan menyombongkan diri. Terserah, kau mau menilaiku apa. Lagipula, aku memang punya segudang prestasi yang mungkin tak mampu digapai anak remaja lain seusiaku. Kalau tak percaya, silakan bertandang ke rumahku dan bisa kupastikan kau akan tercengang melihat betapa banyaknya tropi yang berjejer di rak pajang rumahku.
Asal tahu saja, aku selalu juara kelas sejak SD hingga kini… Yeah, siapa sih di sekolah ini yang tidak kenal Kimora Anjar Slavita, satu-satunya kandidat asal benua Asia yang sukses meraih medali emas dalam kejuaraan Olimpiade Matematika di Moskow sebulan lalu? Bahkan ada salah satu wartawan televisi swasta Nasional yang sengaja datang ke sekolah demi bisa mewawancaraiku untuk salah satu program acaranya.
FYI. Tidak hanya prestasi di dalam sekolah, sejumlah prestasi di luar sekolah pun dengan mudah kuraih. Di usia lima tahun aku tercatat pernah menjuarai lomba mewarnai yang diselenggarakan oleh salah satu toko buku terkemuka di ibukota. Tidak tanggung-tanggung sebanyak tujuh kali berturut-turut aku menyabet predikat juara satu selama mengikuti perlombaan tersebut. Sementara Kamal? Hei, come on! Coba tanyakan saja rumus luas lingkaran yang superdupergampang itu kepadanya, maka dipastikan dia akan cengo mirip kambing ompong seharian penuh.
Dengan segala prestasi yang kuperoleh baik di dalam maupun di luar sekolah, nyaris semua guru-guru di sekolah menyayangiku, menjadikanku contoh panutan bagi murid-murid berpredikat biasa. Jadi, tidak salah kan kalau aku sampai diberi gelar bintang sekolah? Well, kurasa aku tidak perlu membuat video Tik-Tok seperti teman-temanku yang lain supaya terkenal. Ih!
“Kamal baru saja menerbitkan novel debutnya di salah satu penerbit mayor,” Cesa memberitahu dengan penuh semangat ketika aku akhirnya tidak bisa menahan rasa penasaranku untuk tidak bertanya. Walhasil, milkshake rasa cokelat alpukat yang kusedot pun menyembur bebas tanpa bisa kutahan. Sial.
“Please deh, kudu ya lo sampe sekaget itu?” Cesa mencomot beberapa lembar tisu dari dalam tasnya sekaligus, sebagian disodorkan padaku dan sebagian lagi dia gunakan untuk menyeka noda cipratan alpukat yang ikut menempel di layar ponselnya yang tergeletak di meja.
Apa tadi Cesa bilang? Menerbitkan novel?
Jujur, aku tidak ingin percaya begitu saja. Mustahil. Dengan IQ-nya yang di bawah rata-rata, memang apa yang bisa ditulis oleh si otak udang itu di dalam novelnya? Catatan Dodolipret kampret? Curhat supertolol? Atau roman picisan remaja ala Kids Zaman Now Doyan Tik-Tokan? Oh emji! Seingatku, dia bahkan tidak pernah dekat dengan cewek mana pun di sekolah kecuali Nana, cewek bertampang dungu yang lebih akrab dipanggil Nana Tompel ketimbang nama aslinya; Nana Rohana.
* * *
Kamal Aluvta.
Nama itu tertera jelas dengan font besar pada sampul depan novel berlogo Young Adult berjudul: When I was 16, yang berjejal di rak bestseller sebuah toko buku yang tak sengaja kukunjungi sepulang sekolah. Terus terang, ilustrasi sampulnya sungguh memikat dengan perpaduan warna biru laut yang mencerahkan mata. Sambil menahan keki, kubaca sekilas penggalan blurb di belakang bukunya.
Hm, cukup menarik. Tapi masalahnya aku bukan tipe pembaca yang langsung klik hanya karena godaan racikan blurb yang ciamik. Terkadang banyak blurb novel yang disajikan berpotensi menipu calon pembeli bukan? Sejumlah kasus warganet yang merasa tertipu oleh blurb novel lumayan banyak bertebaran di internet. Silakan ubek-ubek laman Google kalau tidak percaya.
“Ambil itu aja, Dek. Alur ceritanya bagus.” Seorang mbak Pramuniaga tiba-tiba memberi rekomendasi ketika mendapatiku menimbang-nimbang novel karangan Kamal Aluvta yang lumayan tebal di antara timbunan novel-novel jebolan Wattpad yang dilabeli logo emas bertuliskan sudah dibaca ratusan juta kali.
Aku tak tahan untuk tidak berdecak sebal. Di mana-mana yang namanya penjual sama saja. Apa pun bakal dibilang bagus asal dagangannya laku terjual. “Harganya selangit, mbak.” Desisku disertai nada suara yang sengaja kusetel supaya terdengar frustrasi.