Sinar matahari hangat menerpa wajahku lewat kisi-kisi jendela. Aku bergegas ke kamar mandi, lalu mengenakan seragam kerja. Saat membuka tudung saji, tak ada satu pun yang bisa disantap di situ kecuali sambal. Aku memanggil istri, tak ada sahutan. Setelah sadar bahwa seluruh keluargaku sedang sowan ke rumah mertua, sebungkus mie instan menjadi makanan tercepat---mesti tak tersehat---menjadi pilihan.
Aku lega ketika sudah berada di dalam mobil pada saat jam tangan menunjukkan pukul sembilan pagi. Sambil merayu hati agar menikmati pagi dengan ceria, aku bersiul-siul. Tahukah kamu siulanku terpaksa berhenti saat kemacetan mengular di depan? Padat merayap. Laju mobil tersendat. Melihat jalan berbatu di samping kiri, aku langsung banting stir. Untung saja mobilku bukan jenis yang rewel, sebuah pick up beroda besar. Kembali aku bersiul senang. Jalan berbatu ini berakhir persis di sebelah kantorku. Memang jaraknya lebih jauh satu kilometer dari jalan tadi. Tapi dengan kondisi macet, aku tak yakin akan tiba di kantor dua jam lagi.
Sesss!!
Aku tersentak mendengar seakan desisan ular. Ternyata ban mobil kempes. Apes sudah. Aku hampir menelepon Musa, mengabarkan aku mungkin akan sangat terlambat tiba di kantor. Tapi manakala melihat sebuah tabung kompressor di depan sana, aku menepuk jidat. Wah, tukang tambal ban! Memang rejeki tak ke mana.
Aku menemui seorang lelaki agak tua yang sedang merenung di dekat kompresor itu. Bila memang dia tukang tambal bannya, tamat sudah riwayatku. Aku pesimis melihat tubuhnya yang mulai ringkih. Saat menanyakan apakah dia bisa menambal ban, aku terkejut melihat kelincahannya, berjalan cepat menuju pick up. Melepaskan rodanya dengan tangkas, dan mulai bekerja. Aku merasa simpati, dan mengajaknya mengobrol.