Aku tak menyangka akhirnya dapat panggilan wawancara di perusahaan ekspor-impor yang cukup bonafid itu. Di udara yang hangat, dan langit nyaris tanpa awan kelabu, aku berdiri menatap gedung kuning gading tempatku akan diwawancarai. Bagaimanapun aku sangat grogi. Di antara pelamar, hanya beberapa yang berwajah pribumi. Lainnya rata-rata oriental. Dan yang paling khas pembeda itu, aku satu-satunya yang memakai jilbab.
“Yakin diterima bekerja di perusahaan ini?” Seorang pelamar menyenggolku sambil menatap dandananku dengan nada menghina.
“Kenapa? Apa dengan dandanan seperti ini aku tak bisa diterima bekerja?” Aku berbicara lembut. Tapi cukup telak membuat wajahnya merah padam.
“Pemilik perusahaan ini seorang Jepang. Aku nggak tahu kalau dia menyukai dandananmu!”
Aku tak lagi menanggapi ocehannya. Seseorang memanggil namaku. Aku dipersilakan memasuki ruangan. Seorang lelaki berkulit sangat pucat, bertubuh jangkung dengan raut wajah tirus, menerima dan menyuruhku duduk di hadapannya.
Dia seorang personalia. Dialah yang mewawancaraiku. Ketika aku menjawab setiap pertanyaannya dengan lugas, dia kelihatan cukup takjub. Tapi tatkala jeda bertanya-jawab, sekilas dia menatap dandananku. Sama dengan pelamar di luar ruangan, tatapannya membuatku merasa gugup. Aku tak yakin diterima bekerja di sini. Aku tak yakin bisa bersaing dengan perempuan-perempuan modis yang bermodal seksi.
* * *
“Aku tak mungkin diterima bekerja di perusahaan itu, Bu!’ kataku ketika Ibu menyambutku di teras rumah.
Seperti tak perduli dengan ucapanku yang bernada kekalahan itu, Ibu bergegas menarik tanganku. Ibu mengiringiku menuju meja makan. Semangkok sup ayam telah terhidang di situ. Makanan kesukaanku. Tapi bukan untuk kali ini.
Aku merasa akan gagal. Pendidikan yang kutempuh bersusah-payah hingga meraih gelar sarjana ekonomi, kiranya tak berarti apa-apa di tengah perebutan lapangan kerja yang begitu ganas.
Bagaimanapun telah banyak Ibu mengeluarkan, tak hanya materi, juga pikiran, demi keberhasilan putri satu-satunya. Ibu single parent yang tabah. Malu sekali rasanya, setelah hampir setahun meraih gelar sarjana, kerjaku masih luntang-lantung. Aku hanya bisa menadah tangan kepada Ibu.
“Tak boleh berbicara begitu, Rika. Siapa tahu kau bisa keterima. Hanya Allah yang bisa menentukan nasib hamba-Nya.” Ibu mengelus-elus punggung tanganku. “Makanlah supnya!”
“Tapi sainganku rata-rata perempuan yang modis, yang berani berpakaian seksi.”
“Lho! Untuk menarik itu tak mesti seksi. Tak perlu mengumbar aurat, Rika. Kecantikan semata-mata bukan dari penampilan luar. Tapi dari sini.” Ibu menunjuk dadaku. “Dari jiwamu. Kalaupun kau tak diterima bekerja di perusahaan itu, mungkin itu bukan jodohmu. Percayalah! Allah pasti memiliki rencana lain buatmu!”
***
Aku berjingkrakan saking gembiranya. Aku tak lupa bersujud syukur kepada Allah. Selembar surat bersampul putih, masih kupegang erat-erat. Di situ tertulis jelas bahwa aku diterima bekerja di Perusahaan Ekspor-Impor Anu, dengan masa training tiga bulan.
“Nah, apa kata Ibu. Bukan lantaran harus seksi baru bisa diterima kerja.”
Aku memeluk Ibu erat-erat. Kucium pipinya berulang-kali, hingga Ibu kewalahan sendiri. Tibalah bagiku memberikan darma bhakti kepada Ibu. Cukup sudah Ibu membanting-tulang mencari penghidupan untuk kami berdua. Sekarang aku yang menggantikan tugasnya. Sekarang Ibu harus beristirahat, dan tinggal memetik hasil yang disemainya berbilang tahun lalu.
Ya, aku akhirnya bisa menapaki dunia kerja dengan perasaan lapang. Ketika bertemu personalia untuk mendengarkan penjelasan tentang rincian tugas-tugasku, personalia itu mengatakan, “Bersyukur sekali kau diterima bekerja di sini. Kalau aku sih mikir-mikir mau memilihmu. Anehnya si bos tiba-tiba ngebet menerimamu ditraining. Selamat, ya!” Nada suaranya sumbang. Kutanggapai saja dengan senyum sumringah, lalu mengucapkan terima kasih berulang-kali.
Ternyata setelah beberapa hari bekerja di perusahaan itu, aku merasa sangat tersisih. Di sela-sela waktu senggang, rata-rata pekerja perempuan sengaja mengumpul untuk ngerumpi. Apa-apa saja biasa dibincangkan. Dari yang mulai lelaki tampan, film bagus, rencana dugem juga mengghibah sesama pekerja, atau menggibah tentang orang lain di luar sana. Tapi dari lirikan mata mereka, aku tahu rata-rata ghibahan lebih sering tertuju kepadaku. Biar sajalah. Yang penting mereka tak menggangguku. Di semua tempat kerja pasti selalu ada yang membenci dan menyenangimu.
* * *