Pak De Lukiran tinggal sendirian di dusun. Dia adik bapak. Istrinya sudah hampir sepuluh tahunan meninggal dunia. Anak, dia tak punya. Hanya beberapa pekerja tambak yang membuat rumahnya selalu ramai. Karena itulah, dia paling senang menerima kami saat liburan sekolah. Ada-ada saja kejutan yang dibuatnya. Seperti tahun lalu, dia langsung memasak gurame asam manis dan remis gulai yang cukup untuk lauk orang sepuluh. Padahal yang menikmatinya hanya aku, Pak De Lukiran, bapak, Mbak Yai dan ibu. Alhasil kami semua kekenyangan. Kecuali Pak De, karena dia hanya makan lauk itu sedikit. Bosan, katanya. Paling-paling dia menggerus dengan giginya beberapa buah jengkol, sehingga bergemeletuk membuat seleraku bertambah.
Mungkin karena perutku tak harmonis dengan remis gulai, selepas santap yang mengenyangkan itu, aku langsung berak-berak. Beruntung ibu tak lupa membawa pil norit untuk berjaga-jaga kalau ada yang tiba-tiba sakit perut. Jadi, kami tak perlu kalang-kabut mencari klinik. Di tempat Pak De hanya ada puskesmas. Itu pun terletak jauh di ibukota kecamatan.
Tapi kejadian itu sangat menjengkelkanku. Pertama, rumah Pak De tak memiliki kakus. Jika hendak membuang hajat, harus ke sungai yang berjarak sekitar seratus langkah dari rumahnya. Akibatnya dapat ditebak. Ketika perutku bertingkah, aku harus berlari sekencang-kencangnya ke sungai. Begitupun, ada juga yang terlepas di celana, sehingga Mbak Yai tertawa terpingkal-pingkal. Pak De menyuruhku memakai sarung saja. Biar mudah kalau mau berak, dan tak sampai mengotori celana yang kubawa beberapa potong dari Palembang.
Kedua, aku terpaksa mendekam di rumah, sementara yang lain pergi berburu burung ke hutan sebelah. Pulang-pulang semua burung hasil buruan digoreng sambel. Aku terpaksa menahan selera dan mesti makan bubur nasi saja.
Nah, liburan ini, kami berkunjung ke rumah Pak De lagi. Ibu mewanti-wanti agar aku bisa menjaga kesehatan perut. “Rakus, sih! Jadinya sakit perut,” ejek MbakYai sambil masuk ke bus yang akan mengantarkan kami ke dusun Pak De.
* * *
Aku sudah membayangkan Pak De Lukiran menyambut kami dengan tawanya yang renyah. Dia pasti memelukku, lalu mengajakku duduk di teras rumah. Seperti biasa dia akan bercerita yang lucu-lucu, sehingga tertawaku sampai mengeluarkan air mata.
Pak De memang memiliki cerita humor yang tak habis. Hingga tak sadar, santap siang memanggil dengan aroma wangi dari dapur. Perutku berkriuk, tapi aku harus bisa menahan selera. Kalau ada remis, tak kumakan. Dicuil sedikit saja, sekedar mencicipi, mungkin tak apalah. Hahaha!
Namun yang kubayangkan tak terbukti. Setiba di depan rumahnya, Pak De tak kelihatan sama sekali batang hidungnya. Pekerja yang biasanya mengaso di halaman belakang, pun tak tak tampak. Aku heran. Sakitkah dia? Berhentikah usaha pertambakannya? Kulirik bapak-ibu, tapi keduanya santai saja memasukkan barang-barang ke dalam rumah yang pintunya tak terkunci itu.
Kutemukan Pak De sedang menghisap rokok sambil mendengarkan radio di ruang tamu. Dia seolah tak menyadari kehadiran kami. Atau, apa dia memang sengaja pura-pura tak menyadari?
“Pak De,” seruku. Dia akhirnya menoleh. Tersenyum tipis sambil menyalami bapak, ibu dan Mak Yai. Lalu menepuk-nepuk bahuku setelah aku sungkem.
“Kau sudah tambah besar, ya!” Hanya itu yang diucapkannya dengan nada datar. Tak ada ajakan untukku duduk di teras sambil mendengarkan cerita-cerita humor. Tak ada lagi tawa pecah, selain senyum tipisnya yang hanya sekali. “Bagaimana pelajaranmu? Baik-baik saja?” lanjut Pak De.
“Baik, Pak De!”
“Syukurlah!”
Sama sekali aneh. Hanya saja, bapak-ibu seperti tak ambil pusing. Ibu sibuk memasak ikan di dapur, setelah ayah menjalanya di kolam belakang rumah seekor dua. Sekarang ikan tak banyak dapat. Itu pun kecil-kecil. Padahal dulu, dua kali tebar jala saja, ikan-ikan penuh hampir dua ember. Aku juga heran, tak ada kecipak ramai ikan di kolam itu.
“Para pekerja di mana semua, Pak De?” tanyaku. Dia sedang menikmati secangkir kopi dan membaca sebuah buku tebal. Kebiasaan yang sangat jarang dilakukannya. Karena setahuku, Pak De tak hobi mengopi apalagi membaca buku. Tiba-tiba terbetik di batinku, pasti ada yang tak beres!
Sementara waktu liburan hanya dihabiskan di sekitar rumah Pak De. Kalau pun ada kegiatan lain yang menyenangkan, adalah mandi di sungai kecil yang airnya sedang tinggi. Tapi ibu membatasi waktuku, karena takut aku nanti demam.
Dalam pikiran kacau-balau itu, sengaja aku menemani Pak De saat dia shalat di langgar.