Kumpulan Kisah Inspiratif

Rifan Nazhip
Chapter #1

Kisah #1 Becak Mang Ibal

Pelan sekali mobil travel berhenti di ujung Jalan Kepodang. Mang Ibal yang sedari tadi memarkir becak di bawah pohon angsana, bergegas berdiri. Rejeki! batinnya. Mang Ibal langsung mengayuh becak buru-buru. Dia tak perduli meski jam tangannya menunjukkan pukul setengah enam sore, pertanda sebentar lagi berbuka puasa. Rejeki pantang ditolak! Mang Ibal sudah membeli dua potong ubi goreng dan satu cangkir air mineral sebagai bekal berbuka puasa.

Dia meminggirkan becak sehingga hampir mencium dinding mobil travel. Seorang pemuda berwajah tampan dan bertubuh sedang, keluar dari dalam mobil itu diikuti yang lain. Sopir membuka bagasi belakang. Pemuda itu meraih tas punggung dari tangan si sopir, kemudian dia celingak-celinguk.

Jalan Bambu Runcing! batin si pemuda. Dia memilih-milih cara terbaik sampai di rumah Jalan Bambu Runcing. Kalau menumpang taksi, pasti butuh ongkos banyak. Hampir dua puluh tahun dia tak pulang ke kota ini. Dia sama sekali alpa situasi jalan dan lorong-lorongnya. Dulu, saat tinggal di sebuah rumah Jalan Bambu Runcing bersama emak dan ayahnya, dia masih berusia tiga tahun. Kata orang, ingatannya masih cetek. Lagi pula, sopir taksi bisa sengaja menyesatkannya. Menyesatkan penumpang membuat ongkos menjadi lebih mahal!

Memilih menumpang angkutan kota, pasti lebih parah. Jangankan tiba dengan selamat di rumah Jalan Bambu Runcing itu, dia bisa saja tersasar. Alih-alih uangnya menipis, sehingga tiada pilihan lain kecuali pulang kembali ke Jakarta.

Mang Ibal tersenyum. Pemuda itu seolah melihat jawaban kebingungan. Ya, menumpang becak adalah pilihan terbaik. Ongkosnya lumayan murah, dan tak masalah bertanya-tanya tentang Jalan Bambu Runcing kepada si mamang becak.

“Mau ke mana, Nak?” tanya Mang Ibal.

“Mau ke Jalan Bambu Runcing!” jawab pemuda itu sambil duduk di jok becak. Mang Ibal langsung mengayuh pedal.

“Jalan Bambu Runcing? Bambu Runcing yang mana? Di sini Jalan Bambu Runcing ada empat. Bambu Runcing satu, dua, tiga dan empat?” Mang Ibal tak ingin menjelang berbuka puasa, dipayahkan oleh pemuda itu. Pemuda itu sepertinya buta tentang kota ini.

“Bambu runcing yang mana, ya? Maaf, Mang, saya tak tahu. Saya sudah meninggalkan kota ini dua puluh tahun lalu. Tapi samar saya ingat ada jembatan bambu di jalan menuju rumah saya. Ada sungai kecil berair jernih di belakang rumah. Hanya itu yang bisa saya kenang.”

Lihat selengkapnya