Bagaimana dengan konsep “neraka sebagai azab yang pedih dan surga sebagai kabar yang gembira”? tanya saya dalam hati. Atas kehendak-Nya, kita semua diusir dari surga, lalu diberi tugas sebagai khalifah, difungsikan untuk beribadah kepada-Nya. Kemudian, Allah mengancam kita dengan neraka, mengiming-imingi kita dengan—apa yang dulu merupakan rumah kita, yakni—surga.
Dan, tidak ada seorang pun di antara kamu yang tidak mendatanginya (neraka). Hal itu bagi Tuhan-mu adalah ketentuan yang sudah ditetapkan1 (QS Maryam [19]: 71). Dan, sesungguhnya kamu (Adam) tidak akan lapar di dalamnya (surga) dan tidak akan telanjang. Dan, sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga tidak (pula) ditimpa matahari di dalamnya (QS Tha Ha [20]: 118–119).
Demi apa sebetulnya semua itu? Pertanyaan itu mengendap dalam batin saya bertahun-tahun. Ketika sudah menjadi seorang mahasiswa, saya bertemu dengan konsep piramida kebutuhan ala Maslow. Ketika menulis makalah soal itu, saya tersentak pada balok kedua paling bawah piramida tersebut. Balok “kebutuhan akan rasa aman” atau “safety needs”.
Ini dia, ujar saya dalam hati. Kemudian, lanjut membuka-buka buku yang lain dalam rangka memperoleh keterangan lebih lanjut. “Telah sampai kepadaku berita bahwasanya salah seorang dari mereka (ahli neraka) dalam satu hari dibakar 70 kali. Setiap kali mulutnya rusak dan dagingnya dimakan api, maka dikatakan kepada mereka, ‘Kembalilah kamu sekalian’, dan kembalilah mereka itu” (HR Ibnu Abi Syaibah dari Hasan bin Ali).
“Ditimpakan kepada ahli neraka rasa lapar, maka rasa sakit lapar itu sebanding dengan segala siksa yang ada di neraka tersebut. Kemudian mereka minta makan, maka mereka diberi makan kayu zaqqum” (HR Abu Dardai). Tahukah Anda apa itu pohon zaqqum? Sesungguhnya pohon zaqqum itu, makanan bagi orang yang banyak dosa. Seperti cairan tembaga yang mendidih di dalam perut, seperti mendidihnya air yang sangat panas2 (QS Ad-Dukhan [44]: 43–46).
At-Tabari menafsirkan sifat buah zaqqum tersebut ibarat logam perak atau sesuatu yang dipanaskan dalam api, maka akan melepuh (melebur) dan sangat panas seperti kotoran minyak yang mendidih di dalam perut.3 Sedangkan Mujahid berkata, “Andaikan setitik saja dari buah zaqqum itu jatuh ke bumi, niscaya akan binasalah kehidupan penduduk bumi seluruhnya.”4 Dalam Tafsir Jalalain, zaqqum disebut sebagai “pohon yang paling buruk dan sangat pahit rasanya yang tumbuh di daerah Tihamah, kelak Allah akan menumbuhkannya pula di dasar neraka Jahim.5”
Hikmah dari penciptaan neraka dan penetapannya sebagai azab yang pedih tak lain adalah dalam rangka menyentuh titik kebutuhan kita akan rasa aman. Titik kelemahan kita akan rasa takut terhadap siksaan. Hal yang kemudian akan mendorong kita untuk berlomba-lomba “menyelamatkan diri”. Hal yang diamini oleh Woodworth dan Marquis yang menyebut adanya motivasi darurat dalam diri manusia, yakni “motivasi yang mencakup dorongan untuk menyelamatkan diri”. Nah, dorongan inilah yang kemudian akan membuat kita lebih mampu melaksanakan tugas dan fungsi kita sebagai makhluk Allah yang paling sempurna.
Lari, misalnya. Anda bisa lari? Anda bisa lari maraton 100 km? Barangkali Anda bisa, atau barangkali juga tidak. Entah karena malas atau karena memang tidak kuat. Tapi, bayangkan kalau di belakang Anda ada seekor harimau lapar. Anda tidak memegang pistol sehingga harapan Anda untuk selamat adalah (hanya) dengan lari dan terus berlari. Sejauh mungkin. Seratus kilometer atau barangkali lebih.
Apakah Anda akan berlari atau lebih memilih pasrah sumerah menjadi santapan pagi si harimau? Pada kondisi normal (tidak ada ancaman dari harimau lapar), Anda mungkin ogah-ogahan untuk berlari 100 km. Tapi, dalam kondisi terancam harimau lapar, Anda bisa saja berlari lebih kencang daripada sprinter juara Olimpiade.