Ayah saya berkata, “Saking dekatnya jarak antara ‘jadilah’ ke ‘maka jadilah’, Anakku, dari ‘kun’ ke ‘fayakun’, sebagian ahli tafsir sampai menyebutkan bahwa jarak itu lebih dekat daripada jarak huruf ‘nun’ pada kata ‘kun’ dengan huruf ‘fa’ pada kata ‘fayakun’.” Saya terkagum-kagum betapa dahsyatnya kemahakuasaan Allah. Jarak dari kehendak-Nya untuk menciptakan sesuatu ke perwujudan sesuatu tersebut tentulah pasti lebih cepat daripada kecepatan cahaya.1
Akan tetapi, seiring bertambahnya usia, seiring bertambahnya pengetahuan yang saya dapatkan dari sekolah dan buku serta lingkungan sekitar, penjelasan ayah saya tersebut memantul kembali menjadi sebuah pertanyaan mendasar: jika benar Allah Maha “kun fayakun” kenapa alam semesta tidak terwujud sekali jadi, melainkan melalui serangkaian proses panjang yang melibatkan, setidaknya, 13,7 miliar tahun?2 Apa Allah tidak mampu membikinnya sekali jadi, alih-alih itu harus menghabiskan waktu “6 hari”? Bukankah tempo “6 hari” itu jauh lebih lama ketimbang jarak dari huruf “nun” pada kata “kun” dengan huruf “fa” pada kata “fayakun”?
Pada akhirnya saya harus mengambil jalan tengah: kemungkinan jawaban dari pertanyaan tersebut hanya dua, pertama, ilmu pengetahuan alam (sains) yang diajarkan di sekolah itu keliru. Atau kedua, pemahaman saya soal “kun fayakun” belumlah utuh.
Baiklah, kita lihat apa yang ditemukan oleh sains. Para filsuf Yunani Kuno mengajarkan: segala sesuatu adalah realitas, dan realitas seluruhnya adalah materi belaka. Oleh karena itu, alam semesta ada sejak waktu yang tak terbatas.3Dengan demikian, Tuhan itu sama sekali tidak ada. Pada abad ke-19, Ludwig Feuerbach (1804–1872) menguatkan teori materialisme tersebut dengan menyatakan: hanya alamlah yang ada—dan manusia termasuk bagian dari alam; sedangkan jiwa ada setelah materi.
Akan tetapi, kemudian, Edwin Hubble, seorang astronom berkebangsaan Amerika, pada 1929 membantah teori materialisme dengan menyatakan teori baru yang dinamakan: Big Bang, Ledakan Besar. Menurut dia, alam semesta terbentuk dari sebuah ledakan besar. Dengan demikian, alam semesta memiliki permulaan. Dengan kata lain, ada zat yang menciptakan alam semesta!
“Tapi,” kira-kira begitu bantahan George Gamow pada 1948 terhadap teori Big Bang, “(jika memang alam semesta itu berawal dari sebuah ‘ledakan besar’) seharusnya masih ada sisa-sisa radiasi dari hasil Big Bang tersebut.4” Tak lama setelah itu, Arno Penzias dan Robert Wilson berhasil menjawab pertanyaan itu dengan menemukan radiasi latar belakang kosmik—radiasi yang diyakini sebagai sisa dari Big Bang. Karena radiasi tersebut luar biasa seragam, tidak dibatasi, dan tersebar merata di seluruh jagat raya.5Keduanya mendapatkan nobel untuk penemuan tersebut.
Teori materialisme semakin terkubur setelah pada 1989 satelit yang dikirimkan NASA—yang dilengkapi instrumen sensitif COBE (Cosmic Background Emission Explorer)—berhasil membuktikan keberadaan radiasi latar belakang kosmik seperti yang ditemukan Arno Penzias dan Robet Wilson, hanya dalam hitungan menit!6Dan, apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya ... (QS Al-Anbiya [21]: 30).
Akan tetapi, persoalan belum berhenti sampai di sana. Pertanyaannya tetap sama: jika Allah Maha “kun fayakun”, kenapa alam semesta perlu 13,7 miliar tahun untuk sampai pada tahap seperti sekarang? Kenapa bumi memerlukan proses berdurasi jutaan tahun sampai akhirnya memungkinkan kita untuk tinggal? Padahal, Dan, Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar. Dan, benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan, “Jadilah, lalu terjadilah”, dan di tangan-Nya-lah segala kekuasaan di waktu sangkakala ditiup (QS Al-An‘am [6]: 73). Atau, Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu (QS Ya Sin [36]: 82).
Setidak-tidaknya, sains telah membuktikan bahwa alam semesta memang diciptakan, bahwa Allah itu memang Maha-ada. Tapi, saya tahu bahwa di luar sana terdapat banyak orang yang melakukan pencarian yang serupa dengan apa yang saya lakukan. Dan, barangkali mereka sama puyengnya seperti saya sekarang. Ketika sains mentok, agama akan mengambil tempat.
Kepercayaan Tao, Yin dan Yang, misalnya, berpendapat bahwa: pada masa yang disebut “waktu-kacau”, yang ada hanya kabut dan kekosongan. Tiba-tiba ada cahaya yang berwarna-warni dari berbagai sudut kekosongan tersebut. Kabut mengguncang dan cahaya semuanya berdiri, sementara benda berat semuanya tenggelam dan menjadi padat. Langit dan bumi menghasilkan kekuatan yang kuat—Yin dan Yang. Sementara Yang bersifat panas, api, dan laki-laki tercipta, begitu juga Yin, bersifat lembap, dingin, dan perempuan tercipta begitu saja. Terjadilah keseimbangan dan harmoni. Yang menciptakan matahari dan bulan datang dari Yin. Bersama-sama, mereka menciptakan empat musim dan lima unsur serta segala jenis makhluk hidup. Pada awalnya, bumi hanyalah bola tanpa fitur. P’an Ku yang menciptakan Yin dan Yang, bertugas menjaga bumi. Dia melipat gunung-gunung, bukit, dan dari lembah-lembah sungai mengalir. Suatu hari P’an Ku meninggal. Ketika ia jatuh ke tanah, tubuhnya menjadi lima gunung suci, rambutnya menjadi tanaman, dan darahnya membentuk sungai ....7
Sedangkan umat Hindu meyakini alam semesta diciptakan sesuai dengan apa yang tertera dalam tujuh bait Nasadiyasukta dalam kitab Regweda, sebagai berikut:
Pada mulanya tidak ada sesuatu yang ada, tetapi tidak ada sesuatu yang tidak ada. Tidak ada udara, tidak ada langit pula. Apakah yang menutupi itu dan dari mana itu? Airkah di sana? Air yang tak terduga di dalamnya?
Waktu itu tidak ada kematian, tidak pula ada kehidupan. Tidak ada yang menandakan siang dan malam. Yang Esa bernapas tanpa napas menurut kekuatannya sendiri. Di luar daripada Ia tak ada apa pun.
Pada mulanya kegelapan ditutupi oleh kegelapan itu sendiri. Semua yang ada ini adalah sesuatu yang tak terbatas dan tak dapat dibedakan, yang ada pada waktu itu adalah kekosongan dan yang tanpa bentuk. Dengan tenaga panas yang luar biasa lahirlah kesatuan yang kosong.