Baju kotor penuh lumpur akibat terjatuh di hutan, sudah direndam Ibu. Tak ada masalah yang terjadi setelah itu. Ibu bersikap biasa saja. Semuanya berjalan normal. Tapi tidak denganku, yang selalu gusar saat menatap wajahnya.
Pikiranku merancau kemana-mana. Merasa seperti dikejar-kejar makhluk tinggi besar yang siap menimpukku dengan batu. Ya, ini adalah pertama kalinya aku berbohong, soal terjatuh di kebun karet. Ingin mengatakan yang sejujurnya, tapi takut ibu marah. Menyimpan kebohongan, sungguh teramat menyiksaku. Hingga membuat susah tidur, makan tak lagi terasa nikmat.“
Bu, apa benar. Orang yang berbohong, akan disiksa? Lidahnya dipotong di neraka?” ucapan seorang ustadz yang pernah kudengar di radio terngiang jelas di telingaku.
Ibu hanya terdiam. Sesekali melirik ke arahku. Pandangannya menelisik tajam. Tak lama, ia pun kembali menambal beberapa baju yang robek.
"Siapa yang berbohong?” suara ayah yang tiba-tiba muncul dengan nada meninggi. Membuatku kaget. Ritme jantungku berpacu semakin cepat. Aku takut ayah mencurigaiku.“
T-tidak ayah, Kun tidak berbohong!” kebohonganku kedua terjadi lagi. Aku semakin bingung, berusaha tak ingin melakukan kesalahan lagi. Tapi malah refleks mengatakannya.
“Hukumannya berat Kun, bagi pembohong. Lidahnya akan dipotong dengan gunting api. Lidah itu akan terus tumbuh dan tumbuh setiap kali dipotong. Begitu seterusnya. Kau jangan pernah berbohong. Satu kebohongan, akan menambah kebohongan yang lainnya” ujar ayah sambil mengusap kepalaku.
“Jadilah anak jujur, Kun!” aku mengangukkan kepala. Berusaha baik-baik saja, padahal di hati sedang berkecamuk hebat. Pilihan antara mengatakan sebenarnya atau tetap menutupi kesalahan. Sementara ibu masih diam. Sepertinya ibu tahu yang terjadi sebenarnya. Hanya saja, ia enggan mengatakannya.
Setelah selesai menambal. Ibu memasukkan beberapa pakaian ayah ke dalam tas. Besok ayah akan pergi ke kota, menjual getah karet. Rencananya akan menginap beberapa hari, untuk bertemu kawan lamanya. Katanya sih, ‘Membahas usaha’. Itu percakapan yang kudengar, saat secara tak sengaja masuk ke dalam kamar ibu. Berbekal motor butut, ayah akan berangkat ke kota.
*******
Hari-hari tanpa ayah terasa sepi. Aku berjanji sepulang kepergiannya ke kota. Aku ungkapkan semuanya. Tentang cerita rumah tua, auman binatang buas hingga aku terjatuh di hutan.
Rinduku kian memuncak, saat melihat radio tua milik ayah tergantung di bilik bambu. Biasanya setiap sore, ayah mendengarkan ceramah sembari membuatkan boneka kayu untukku. Sementara aku hanya duduk di sampingnya. Melihat ayah bekerja, mengolah bahan kayu menjadi sesuatu yang cantik dengan tangannya yang cekatan.
Sudah lebih dari sepuluh boneka yang dihasilkan dari tangannya. Ada juga boneka dari tempurung kelapa. Tapi yang paling kusukai adalah boneka si pinokia dengan hidung panjangnya. Bentuknya lucu, ada topi kecil di kepalanya.
Hari ini, seperti biasa aku menemani ibu bekerja di kebun karet. Kami berjalan hingga lima kilometer. Saat melewati bangunan sekolah. Aku selalu berhenti cukup lama. Ingin rasanya seperti mereka. Bisa belajar membaca dan menulis. Bermain bersama teman-teman saat jam istirahat. Aku dan Jun pernah datang ke sekolah ini, mengintip dari balik jendela. Melihat Bapak dan Ibu guru mengajar rasanya senang bukan kepalang.
“Kun ....” suara ibu yang memanggilku cukup keras, menyadarkan dari lamunan. Dengan Segera, kupercepat langkahku berjalan ke arah ibu.
“Doakan ayah, semoga tahun ini rezekinya lancar. Bisa menyekolahkan Kun, di tempat itu.” Aku mengangguk, kemudian menggandeng tangan ibu yang terasa makin kasar telapak tangannya. Tak ingin menambah beban pikiran ibu, aku menceritakan dongeng-dongeng yang pernah kudengar dari Jun. Ibu tertawa lepas. Kami terus berjalan hingga sampai tujuan.
Sudah dua hari aku tak bertemu Jun, “menghilang kemana dia? Sejak kejadian itu. Tak tampak batang hidungnya.”