KUNCEN

Deeta Pratiwi
Chapter #1

Prolog

Lingsir wengi, sliramu tumeking sirno ....

Ojo tangi nggonmu guling, awas ojo ketoro ....

(Menjelang malam, bayanganmu mulai sirna. Jangan terbangun dari tidurmu, awas jangan sampai terlihat.)


Pupuh darmo mengalun lirih dari ruang pertapaan, ditemani pijar keemasan. Satu-satunya cahaya yang menyelinap di antara gelap. Tembang yang menjelma bagai ayat-ayat purba. Menyibak tabir halimun[1] gaib dari dimensi kematian.

Denyut kesunyian seolah menyatu dengan duka yang Kanjeng Bendhoro rasakan. Kesedihan, kepiluan, rintihan keputusasaan, terasa antara nyata dan fatamorgana. Siapa pun yang mendengar, akan tersesat dalam kepekatan.

Prana-prana[2] kegelapan bergelung, membawa kidung Kanjeng Bendhoro menemui masa lalu, pada sebuah petuah leluhur yang ia dapat seabad lampau.

"Pantese rah abrit lan pethak ingkang mili lebet saliro. Petengan lan cahaya puniku dugi lebet dhiri manungsa tanpa saged dipilih salah setunggale, Nduk."[3]

Pedih, kata-kata itu kini terasa bagai dersik[4] yang melemparkannya pada lembah penyesalan.

Aku lagi bang wingo-wingo ....

Jin setan tak utusi ....

Lihat selengkapnya