"Bedo-bedo panduming dumadi, Nduk. Mboten pareng ngresulo."
(Beda-beda takdir pemberian Tuhan pada hambanya, tidak boleh mengeluh.)
Pijar keemasan baru saja menyingsing dari langit. Dawai-dawai cahaya menyentuh bumi. Menyibak sela dedaunan untuk kembali memeluk embun dalam peraduan. Lalu menggantinya dengan rona lembut kehangatan.
Kepada ijuk dan alang-alang berundak yang bertengger kukuh bagai gunung, simbol keagungan. Dan saka guru, pilar yang berdiri perkasa perlambang empat arah mata angin. Di sana tajuk-tajuk cahaya itu melekat. Mengantarkan kehangatan dari Dewa Surya kepada sang penghuni rumah.
Di pelataran rumah Joglo yang luas itu, para abdi dalem merapatkan jaket tebalnya. Pagi ini lereng Lawu terasa lebih dingin dari hari biasa. Beberapa terlihat menyapu halaman, membersihkan gebyok, dan beberapa lagi tengah sibuk memetik bunga untuk sesajen.
Di dapur, segala bunyi-bunyian riuh terdengar dari emban yang sedang memasak untuk tumpengan. Aroma pandan dari nasi kuning yang ditanak menggunakan tungku kayu pembakaran, dipadu kepulan asap putih yang membumbung dari dandang. Lalu berbagai jenis sayuran yang di rebus, seperti kenikir, kacang panjang, bayam, genjer, kecambah, lalu dibaluri parutan kelapa yang sudah dicabai pedas, berbaur menjadi urapan. Tak lupa, sambal goreng kentang yang warnanya seindah selendang Nawang Wulan. Kuning keemasan, dipadu merah menyala. Dan sebagai lauk utama, tentu saja ayam jago panggang alias ingkung. Semua itu, seolah mengundang para dewa untuk turun memberi keberkahan pagi ini.
Akan tetapi, segala harmoni itu tidak selaras dengan yang terjadi di pendopo[1]. Adalah Raden Roro Umayi Songgo Langit, yang mati-matian merajuk kepada ibunya agar diijinkan berangkat ke sekolah. Sedari pagi, anak gadis itu sudah sibuk mengekori ibunya dengan serentetan protes.
"Siapa yang ndak mengeluh kalau jadi Umayi, Bu? Teman Umayi, ndak ada itu yang dipingit kalau lagi wetonan."
Beruntung, R.A Lituhayu terlahir sebagai perempuan yang sabar. Dia hanya mengurai senyum dan terus melangkah menuju dapur, membiarkan anak gadisnya ikut di belakang. Di tangannya, ada nampan berisi perlengkapan sesaji yang akan digunakan untuk upacara wetonan. Syukuran atas kelahiran Umayi yang ia lakukan tiap 35 hari sekali.
"Bu, hari ini ada ulangannya Pak Bahar. Kalau Umayi menyusul ulangan sendirian, ndak sanggup, Bu. Umayi ndak bakat matematika. Kalau ulangan bareng, kan bisa nyontek."
Alasan klise yang keluar begitu saja dari mulutnya, tanpa dicerna. Dia hanya ingin kabur dari tradisi ini.
"Lha dalah." Kali ini Lituhayu berbalik badan menatap anaknya, sembari melirik beberapa abdi dalem yang diam-diam tertawa mendengar kejujuran sang majikan muda.
"Cah ayu ... cah ayu. Apa ndak malu didengar sama para abdi? Nyontek kok bangga tho, ya." Lituhayu mencubit gemas bibir Umayi yang mengerucut lima senti.
"Umayi berangkat sekolah, nggih, Bu."
Gadis itu mengedip-kedip memohon. Kali ini, jemarinya pun ikut merajuk di lengan kebaya ibunya. Pipinya membulat dengan bibir mencebik sempurna.