Reina, Reino, Nindi dan Nanda telah meninggalkan Magelang dan menuju tempat kelahiran. Hati mereka dipenuhi buih-buih kesejukan. Tubuh-tubuh yang dulu pendek sekarang sudah bertambah tinggi saja.
“Aku sudah sangat ingin bertemu dengan ibu,” ujar Nindi memandangi jalanan melalui jendela mobil travel yang melaju dengan kecepatan normal. Di luar gelap, karena mereka menempuh perjalanan malam.
“Kau pikir kita enggak merindukan ibu?” seru Reino yang duduk di belakang Nindi.
“Sebentar lagi, Nin. Sabar, ya,” kata Reina bijak. Dia duduk bersama Nindi di kursi tengah.
Di samping Reino, dengkuran halus terdengar nyaring. Kepala Nanda beberapa kali jatuh ke pundaknya.
“Nan, kepalamu berat. Senderan aja ke deket jendela,” protes Reino menggeser kepala kembarannya.
Nanda sempat menyipitkan matanya. Dia tertidur kembali dan posisi kepalanya sekarang pindah menyandar pada sandaran kursi. Hari ini hari melelahkan untuknya karena dia harus menyetor hafalan cukup banyak di hari terakhirnya di pesantren.
Setelah hampir menempuh enam jam perjalanan. Nanda paling cepat bangun. Karena dia tidur paling lama. Sementara saudara-saudaranya yang lain masih terlelap. Dilihatnya pemandangan luar jendela masih berwarna hitam. Gelap.
Para penumpang lain yang memenuhi kursi-kursi depan sudah tak terlihat. Nanda yakin mereka sudah pada turun. Tertinggal empat saudara kembar dalam mobil itu. Bocah laki-laki itu menyingkirkan kaki Reino yang menghalangi jalannya. Dia hendak pindah ke kursi depan.
Nanda berjalan sempoyongan. Duduk di kursi yang berada di belakang sopir. “Pak, maaf kita sudah sampai mana?” tanyanya pada sang pengemudi.
“Kita sudah sampai di Kota Purawa, Dik,” jawab sang sopir sambil melirik kaca spion tengah.
Nanda langsung melempar pandangan ke luar. Hatinya dihujani kebahagiaan. Sebentar lagi dia dan ketiga saudaranya tiba di tempat di mana mereka pertama kali melihat dunia. Bertemu dengan ibu yang amat dicintainya. Mengandung mereka berempat dalam satu rahim. Gerimis turun di sudut mata Nanda. Terharu campur bahagia.
“Reina, Nindi, bangun! Kita sudah mau sampai.” Nanda terpaksa menepuk-nepuk pipi Reina dan Nindi karena mereka tak juga merespons.
Satu demi satu dari mereka mulai membuka mata. Melawan rasa kantuk yang menghinggap.
Reino yang mendengar suara Nanda ikut terbangun. Mengucek kedua matanya. Bau belerang mulai tercium. Dia bisa merasakan Kedrayasa sudah amat dekat.
“Cek lagi barang-barang kalian. Jangan sampai ada yang tertinggal,” seru Pak Sopir menyalakan lampu.
Mata Reino mengerjap-ngerjap. Terasa perih karena cahaya lampu yang terlalu terang. Semua sibuk mengecek barang bawaannya masing-masing.
Pangling. Adalah hal pertama kali yang mereka rasakan saat turun dari mobil travel. Pak Sopir menekan klakson dan melajukan kembali mobil elf miliknya, meninggalkan Kedrayasa. Empat bocah yang tadi menjadi penumpang di mobil itu sempat melambaikan tangan.
“Terima kasih banyak dan hati-hati, Pak Sopir,” teriak Nanda paling lantang suaranya.