Seonggok kabar kepulangan anak-anak cukup menyirami hati Sartini. Hampir empat tahun mereka terpisah. Dan itu merupakan hal yang amat berat bagi janda itu. Dilaluinya hari-hari dengan peluh dan air mata. Lautan doa tercipta dari setiap tetes air mata ketulusan yang terjatuh. Air mata seorang ibu.
Hari ini orang-orang sibuk di rumah Tini yang baru. Separuh karyawan diminta bantuan untuk mengikuti acara syukuran. Separuhnya lagi akan tetap bekerja di rumah lama. Agar produksi tetap berjalan.
Beberapa furnitur yang baru dibeli, kini sudah memenuhi hampir seluruh ruangan rumah barunya. Dapur Sartini dipenuhi nasi kotak dan snak, rencananya malam ini akan diadakan syukuran dalam rangka menempati rumah baru sekaligus menyambut kepulangan anak-anak.
Bip bip bip.
Ponsel di kantong celana Tini bergetar. Dia buru-buru menekan tombol bersimbol telepon warna hijau. Nama Pinah yang muncul di layar ponsel.
“Ada apa, Pin?” tanya Tini melalui sambungan telepon genggamnya.
“Anak-anak sudah sampai rumah lama, Tin. Tapi aku udah menyuruh suamiku mengantar mereka ke rumah baru. Sekarang mereka sedang dalam perjalanan.”
“Baik, Pin. Aku akan bersiap-siap terlebih dahulu.” Tini segera mematikan ponsel. Menarik kerudungnya di gantungan baju. Buru-buru dia memakainya.
Empat pasang mata itu tanpa berkedip menatap rumah yang tampak sederhana dari luar, mewah di dalamnya. Rumah yang sangat akrab dengan mereka. Dulu, keempatnya sering menghabiskan waktu di rumah itu.
“Pak Karno, ini rumah Tiara, ‘kan?” tanya Reina menuntut penjelasan. Mengapa mereka harus diturunkan di situ. Bukankah ibunya sudah lama sekali tidak lagi bekerja di rumah sahabatnya?
“Loh, ini sudah jadi rumah kalian. Oh, mungkin Bu Tini mau ngasih kejutan. Coba saja masuk ke dalam, pasti ibu kalian ada di sana.”
Mereka berempat saling bertatap-tatapan. Kenapa bisa?
Suara bel berbunyi panjang. Hati Tini sudah tak menentu. Dia menuju pintu utama. Gemetaran dibukanya pintu itu lebar-lebar. Bibirnya bergetar hebat. Tangisnya pecah seketika.
“Anak-anakku.”
Perasaan haru sudah tak dapat lagi dibendung. Antara bahagia dapat berkumpul kembali. Dan haru melihat anak-anaknya tumbuh sehat. Rindu yang menggunung mulai berguguran. Pikiran Tini seketika membuncah. Menerima santun jabat tangan anak-anaknya. Menciumi mereka satu demi satu.
“Apa kabar Ibu? Kami sangat rindu. Tiga tahun lamanya kita telah berpisah.” Reina tergugu-gugu memegangi tangan sang ibu.