Reina dan Nindi melompat-lompat di atas trampolin. Benda yang mereka pijak memantulkan tubuh keduanya ke atas. Tawa renyah dua gadis Sartini itu baru muncul sekarang. Dulu, masa kecilnya banyak hal terlewati. Mereka jarang bisa tersenyum lepas karena harus menelan pil kehidupan. Tidak heran kalau sekarang seolah mereka melepas semua beban.
Sementara Reino dan Nanda berenang di kolam renang yang belum lama difungsikan. Terjadilah aksi saling dorong. Mereka begitu menikmati, saling bercanda dan bercengkerama. Jangan ditanya jika anak Sartini pandai berenang. Dulu, setiap Tini tidak di rumah, mereka ternyata pergi ke sungai. Berenang bebas mengarungi arus sungai di dekat dusun mereka tinggal.
Oh, tanpa pengajaran manusia, alam telah berbuat banyak. Sementara Tini duduk santai di ayunan dengan buku-bukunya. Usia anak-anak sekarang telah menginjak lima belas tahun. Mereka harus punya bekal kemandirian. Dan Tini berkewajiban untuk menuntun mereka.
Di lain sisi, rumah lama mereka masih tetap sama. Digunakan untuk keperluan konveksi. Tadinya Tini ingin memindahkan semua produksi di tempat yang lebih layak, tetapi hampir semua karyawan menolak. Mereka lebih senang tetap di tempat lama, tidak jauh dari kediaman masing-masing. Akan tetapi, Tini juga kekeh untuk tidak merenovasi ulang rumah gubuk itu, kecuali memang rusak berat. Dia tidak mau menghancurkan sejarah dalam hidupnya yang terukir di sana.
“Sedang baca buku apa, Bu? Serius banget.” Nindi duduk di samping ibunya.
“Ini buku tentang cara membuat anak-anak mandiri.” Tini memperlihatkan judul yang tertera pada sampul depan.
Walau sudah bertambah usianya, Nindi tetap anak Sartini yang manja. Nindi menempelkan kepala ke bahu ibunya. Menyampaikan kegelisahan yang dirasakannya selama ini. “Bu, sampai sekarang Nindi belum juga datang bulan. Apakah Nindi enggak normal?”
“Loh ... Nindi harus optimis. Kalau memang sudah saatnya, pasti nanti juga merasakan haid.”
“Tapi Nindi takut, semua temen-temen Nindi sudah mengalami semua.”
“Temen ibu dulu juga banyak, seusia Nindi tapi belum juga datang bulan. Mereka ketakutan setengah mati. Apalagi banyak sekali orang yang berkomentar tidak enak. Tapi, temen ibu itu selalu memohon sama Allah. Dia tidak pernah meninggalkan yang wajib terhadap perintah Allah, amalan sunah juga terus dia kerjakan. Sampai pada akhirnya, usia tujuh belas baru dia merasakan yang namanya datang bulan.”
Nindi mulai termotivasi berkat cerita sang ibu. Dalam hatinya sudah tertanam rasa optimisme. Gadis itu selalu membayangkan hal-hal aneh akan terjadi pada dirinya kalau belum juga datang bulan.
“Nindi punya hafalan Qur’an yang bagus. Coba setiap selesai murajaah, Nindi berdoa dengan sungguh-sungguh. Sebagai bentuk ikhtiarnya, kalau mau periksakan juga ke dokter.”
“Nindi nggak mau ke dokter, Bu. Kalau begitu, saran Ibu yang pertama akan Nindi coba kerjakan.”
Tini mengusap-usap rambut anaknya yang halus. Nindi tetaplah seorang anak. Jika dia manja, masih diberi toleransi kecuali sudah berlebihan.
Di atas trampolin Reina sendirian, menelentangkan tubuh menatap langit. Menikmati indahnya langit biru. Kedua kembaran laki-lakinya mau berbuat iseng. Mereka menyeret tubuh Reina ke kolam. Gadis berkulit putih itu berteriak-teriak. Tini dan Nindi menyaksikan adegan mereka. Mereka hanya bisa menertawai. Tini membiarkan anak-anaknya menjalin keakraban satu sama lain agar mereka bisa lebih kompak.