Tiga hari lamanya keluarga Tiara berada di rumah peninggalan Bu Hajah. Sekarang mereka harus pergi lagi. Tapi bukan untuk waktu yang lama. Mereka pergi untuk kembali. Sekadar menyelesaikan surat-surat pindahan. Tini dan anak-anak mengantar kepergian mereka.
“Jangan sedih, kalian kan sudah punya nomor telepon Tiara. Bisa tetap komunikasi mesti jarak jauh.” Tini mengingatkan anak-anak setelah mobil mewah Pak Bram lenyap dari pandangan.
“Semoga saja Tiara lekas kembali.” Reina masih berat ditinggal oleh sahabatnya itu. Baru sebentar mereka melepas kerinduan, sudah harus terpisah kembali.
“Ibu mau pergi ke rumah lama jalan kaki, ada yang mau ikut?” tanya Tini kepada anak-anaknya. Dia hendak mengecek pekerjaan karyawannya.
“Kenapa harus jalan, kita bisa naik taksi.” Nanda keberatan.
“Ibu ngajak yang mau aja. Kalau Nanda keberatan, nggak usah ikut.” Tini sedikit jengkel mendengar kalimat putranya. Dia tidak ingin anak-anaknya menjadi manja karena sudah memiliki segala fasilitas yang memudahkan kehidupan mereka. Wanita itu lebih senang kalau anak-anak tetap menjadi orang yang sederhana.
“Nindi ikut, Bu.”
“Reino juga.”
“Reina juga mau. Bagaimanapun kita tidak boleh lupa sama siapa kita sebelumnya,” sindir Reina pada Nanda.
“Reina tetap tinggal, ya. Biar Nanda yang nemenin di rumah.”
“Tapi, Bu ....” Reina menjadi bingung. Kenapa dia malah tidak boleh ikut?
“Sudah, sekarang Reina ke kamar mandi dulu. Nanti bisa menyusul kalau memang mau ke sana.”
Reina pun menurut apa kata ibunya. Walau dia tidak ingin ke kamar mandi, tapi gadis itu pun tetap ke sana. Barang kali tanpa sepengetahuannya ada hal terjadi yang sebenarnya ingin ditunjukkan ibu padanya.
Benar saja, saat rumah hanya tersisa dirinya dan Nanda, Reina histeris sendiri. Ternyata sekarang jatah bulanan datang. Dia tidak menyadari bercak merah darah telah tembus pada roknya.
“Kenapa, sih?” Nanda penasaran mengetuk kamar mandi. Ikutan panik.
“Nggak papa.”
“Nggak mungkin. Kalau nggak ada apa-apa mana mungkin teriak-teriak.”
“Aku lupa kalau ini sudah tanggalnya.”
“Tanggal apa?” Nanda tidak mengerti.