“Reina tahu, Ibu kuat.” Gadis itu menyuguhkan senyum dari luar kaca. Sakit perut akibat datang bulan yang sedari tadi mengancam benar-benar diabaikannya. Reina kemudian mencari tempat duduk. Bersandar di kursi panjang. Tertidur pulas di kursi tunggu. Tak satu pun ada orang di kursi besi itu. Sementara yang lain belum kembali dari surau.
Seorang perawat menghampiri Reina yang masih memejamkan mata. Wanita dengan seragam serba putih itu ingin mengajak salah satu keluarga Tini menemui dokter. Untuk diberi arahan tentang penyakit Sartini. Perawat itu mengurungkan niat, demi melihat Reina yang tertidur pulas.
Selepas wanita berseragam putih itu beranjak pergi, orang-orang kembali dari salat. Nanda bergerak menyelimutkan sweter ke tubuh Reina.
“Lebih baik kita makan dulu. Kita tidak boleh dalam keadaan sakit saat Bu Tini siuman nanti.” Pak Karno berusaha membujuk.
Perlahan, sesuap dua suap mereka mengisi perut dengan lontong dan potongan ayam yang dibeli Pak Karno di sekitar rumah sakit. Hanya Nindi yang tidak memiliki selera makan sama sekali.
“Makanlah, Nin! Memang terasa berat seluruh anggota mulut untuk menyerap rasa. Tapi setidaknya kasihanilah perutmu. Dia juga memilik hak,” rayu Pinah pada Nindi. Gadis itu malah meneteskan air mata, memandangi tubuh sang ibu terbujur. Belum juga sadarkan diri.
“Apakah ibu sudah makan?” tanya Nindi terdengar putus asa.
“Ibumu tidak akan makan kalau kau tidak makan.”
“Benar. Aku harus makan. Ibu tidak akan membiarkanku kelaparan. Siapa tahu ibu akan bangun dan ikut makan bersama kita.” Nindi tergugup memasukkan lontong dan potongan paha ayam ke dalam mulutnya. Dia menangis tergugu-gugu. Alhasil, makanan itu tidak berhasil ditelannya. Dia tahu ibu tidak akan bangun meskipun dirinya mau makan.
Reina yang tiba-tiba terbangun begitu iba melihat kondisi kembarannya. “Ya Allah, Nin.” Dia cekatan membersihkan mulut Nindi.
“Kita harus kuat Nin. Kau tak boleh seperti ini. Ibu akan kecewa dan putus asa melihat kita bersedih.” Reina berusaha meyakinkan.
“Bu Pinah dan Pak Karno sebaiknya pulang saja dulu. Kami yang akan menjaga ibu di sini,” titah Reino.
“Aku sudah menghubungi Yati untuk gantian berjaga. Kamu dan Nindi juga sebaiknya ikut pulang dengan Ibu. Kami takut kondisi kalian menjadi drop.”
“Kau ikut pulang Bu Pinah, ya, Nin,” perintah Reina pada Nindi.
Nindi dan Reino menurut. Mereka sudah sangat letih sejak ibunya tumbang di tengah jalan tadi sore. Bagaimanapun juga mereka butuh istirahat.
Setengah jam setelah kepergian Pinah, Pak Karno dan dua anak kembar Sartini, Yati datang diantar putranya sampai depan gerbang rumah sakit.