Semua orang bergantian membaca surat wasiat dari Tini. Mereka semakin tergugu-gugu. Tini berhasil menyembunyikan rasa sakitnya. Dia kini telah menyusul idolanya.
Oh, Sartini, jika engkau layak menjadi berlian seperti idolamu, kenapa pula kau hanya meminta menjadi kuncupnya saja?
Para pelayat sudah mulai berdatangan. Warga sekitar, serta warga dusun Kedrayasa hilir mudik melayat ke kediaman mendiang Sartini. Bapak RT dan istri juga turut menyampaikan bela sungkawa mendalam atas meninggalnya sang pengharum nama dusun Kedrayasa.
Ada dua orang pelayat yang mencuri perhatian orang-orang. Dia adalah Pak Mandor dan istri. Para pelayat ribut saling berbisik menanyakan sejak kapan Pak Mandor bebas dari penjara. Laki-laki bertubuh kekar itu tersungkur di depan jasad Sartini memohon maaf. Semua terlambat sudah. Sartini tidak akan bangun lagi. Namun, pernyataan Pak Mandor tampak tulus. Dia merasa menyesal telah membuat keluarga Tini menderita.
Bu Mandor yang berpakaian serba hitam juga menangis pilu. Dia memeluk anak-anak Sartini bergantian. Menguatkan.
Seandainya Tini masih hidup, sudah pasti dimaafkan semua kesalahan orang. Hati Sartini lebih indah dari berlian.
Jenazah Sartini segera dimandikan, dikafani dan disalatkan. Salat mayit diiimami oleh Pak RT.
Setelah subuh, jenazah wanita tegar itu dikebumikan di samping sang idola sesuai wasiat terakhirnya. Anak-anak saling menguatkan satu sama lain. Berjuang bersama mewujudkan cita-cita sang ibu yang belum terlaksana.
***
Satu bulan setelah kepergian seorang Sartini masih menyisakan duka mendalam. Semua anak Sartini belum bisa sepenuhnya menerima. Mereka membutuhkan waktu lebih banyak untuk terbiasa. Pinah dan Pak Karno sejauh ini melakukan tugasnya dengan baik sebagai ayah dan ibu yang baru bagi anak-anak Sartini. Tini telah mewujudkan impian pasangan itu untuk memiliki anak. Salah satu impian Tini lainnya juga telah terwujud, rumah barunya digunakan untuk tempat tinggal anak yatim piatu.
Beberapa ruangan kosong disulap menjadi kamar bagi anak-anak itu. Reina, Reino, Nanda dan Nindi bergantian mengajar mereka. Pelajaran agama dan sekolah umum. Sementara urusan makan menjadi tanggung jawab Pinah dan Yati.
Usaha konveksi peninggalan Sartini semakin berkembang pesat. Banyak orderan datang dari dalam maupun luar kota. Semua bekerja keras agar usaha itu tetap berjalan. Wening turut berperan penting dalam kesuksesan itu.
Nindi dan Reina berkali-kali mengirim pesan kepada Tiara, tetapi gagal. Telepon juga tidak pernah tersambung. Padahal mereka ingin berkirim kabar bahwa sang ibu telah tiada. Mereka begitu kecewa dengan sahabatnya itu. Ditambah lagi mereka tak ada yang memiliki nomor rumah Tiara.