Belajar dari Sartini yang tidak pernah mengeluh. Dihantam cobaan dan ujian berat, dia tetap berdiri tegak. Mengesampingkan rasa malu dan letih untuk mencapai yang ingin dia dapat.
Setelah tercapai, semua seperti terhempas begitu saja. Oleh batas waktu yang tak mampu ditawar. Kerja kerasnya bukan untuk dirinya. Melainkan dia persembahkan untuk orang-orang terdekatnya. Orang-orang yang mencintai dan dicintainya.
Walau wujudnya tak lagi tampak, tetapi kenangan akan dirinya selalu terkenang di hati siapa saja. Jika ingin mencari celah dari sisi kurangnya seorang Sartini, akan terasa sulit. Kekurangan yang dimilikinya hanya satu. Dia terlalu baik. Dan kebaikannya itu sering kali menjadikannya lemah.
“Perutku sakit banget, Rei. Seperti diremas-remas. Tubuhku lemes. Semua energiku rasanya tersedot habis.” Tubuh Nindi berkeringat.
“Kau sakit?” Reina yang sedang membaca buku melemparnya sembarangan. Dia mengecek dahi kembarannya. “Enggak panas.”
“Yang sakit perutku, bukan jidatku.”
“Sebentar ... sebentar. Aku panggil ibu dulu.”
Dalam kesakitannya, Nindi menangis. Mengingat sang ibu. Saat dia kecil, kalau perutnya sakit ibunya selalu mengelus-elus bagian yang sakit. Setelah itu sakitnya hilang. Hari itu, pertama kalinya dia merasa kehilangan yang teramat sangat.