Pukul lima pagi setelah salat Subuh, dapur milik Sartini mengepul beriringan dengan suara ayam jago milik Pak Karno, tetangganya. Suara 'kukuruyuk' ayam jantan itu seperti alarm yang mengguncang pendengaran warga dusun Kedrayasa. Aroma belerang menyengat menusuk-nusuk indra penciuman. Begitulah suasana ketika fajar menjelang di dusun yang terletak di lereng Gunung Manggis. Gunung tersebut dinamakan manggis karena konon sebelum dibangun pemukiman warga, tanah di daerah pegunungan banyak ditumbuhi pohon manggis. Lain halnya dengan sekarang, pohon manggis hanya terlihat satu dua saja.
Sejarahnya, kala itu pohon manggis tumbuh bergerombol. Namun, bangsa siluman ingin menguasai semua lahan. Salah satu ksatria dipercaya oleh kerajaan Kedrayasa yang letaknya berada di kaki gunung untuk membasmi siluman tersebut. Kehidupan saat itu hanya ada dalam kerajaan, tidak ada masyarakat setempat. Katanya, ksatria itu bernama Gagah Prakasa. Tubuhnya kekar berotot, gagah dan perkasa seperti namanya. Sementara siluman itu jelmaan kelelawar raksasa. Penghuni kerajaan menjulukinya “Setan Kampret”.
Gagah Prakasa dan Setan Kampret bertarung di puncak gunung. Keduanya beradu kesaktian. Siapa yang kalah wajib bertekuk lutut. Menurut sejarah yang dipercaya dari dulu hingga sekarang, kerajaan hanya mengandalkan hasil dari hutan untuk menopang hidup di negerinya. Sayang seribu sayang, sang ksatria harus gugur di medan perang. Kesaktian yang dimiliki tidak mampu untuk melumpuhkan lawan. Setan Kampret akhirnya menguasai semua yang diinginkan. Kerajaan yang berdiri gagah di tengah hutan lenyap oleh sihirnya.
Sewindu setelah kerajaan menghilang, Setan Kampret kehabisan akal untuk bertahan hidup. Biasanya yang merawat pohon-pohon itu adalah orang kerajaan. Namun, sekarang mereka sudah menghilang akibat ulah Setan Kampret sendiri. Pohon manggis yang menjadi andalannya sehari-hari, lama-kelamaan tidak mau berbuah. Dia benar-benar tidak mengerti cara mengolah lahan agar terus tumbuh buah-buahan. Yang makhluk menjijikkan itu tahu, hanya makan dan keluyuran saja.
Setelah pohon-pohon itu tidak ada yang berbuah, Setan Kampret akhirnya musnah kelaparan. Perubahan dari masa ke masa, ada segelintir orang yang membangun tempat pemukiman di lereng Gunung Manggis, kehidupan tersebut berlangsung hingga sekarang.
“Reina, Reino, Nanda, Nindi ... bangun ... bangun! Siapa yang tidak salat Subuh akan dimakan Setan Kampret.” Begitu cara Sartini dan warga setempat menyuruh anak-anaknya salat. Keempat anak Sartini, tanpa mengucak mata langsung berlari berebut air wudu.
Sartini tersenyum melihat anak-anaknya menurut. Walau dia tahu sebenarnya bukan hal yang baik menakut-nakuti mereka dengan cerita Setan Kampret. Wanita yang kini sudah menjanda itu berpikir ada saatnya anak-anak akan mengerti kalau salat merupakan kewajiban. Kebutuhan bagi semua umat manusia. Kalau sekarang biarkan saja mereka belajar membiasakan diri terlebih dahulu.
Reina, Reino, Nanda dan Nindi merupakan bayi kembar Sartini yang kini sudah berumur sembilan tahun. Reino dan Nanda dua anak lelakinya. Sementara anaknya yang lain perempuan, Reina dan Nindi namanya. Mereka kembar identik. Orang lain belum tentu bisa mengenali mereka satu demi satu kalau dijejerkan.
Yang membedakan Reina dan Nindi adalah sebuah tahi lalat Nindi di leher bagian belakang. Sementara Reina tidak memiliki tahi lalat. Lain halnya dengan Reino dan Nanda. Mereka masih bisa dibedakan berdasarkan tinggi badan. Tubuh Nanda sedikit lebih pendek dari kembarannya.
Anak-anak Sartini sekarang sedang menunggu masakan lezat buatan ibunya di atas tikar. Kalau tidak kunjung datang sarapan, sendok dan piring siap dimainkan. Sartini berlarian ke sana kemari mengambilkan makanan untuk putra-putrinya. Mereka bersorak ketika di depan mereka sudah ada tempe bakar, tumis kangkung dan sebakul nasi.
“Ibu tidak makan?” tanya Reina dengan polos.
“Ibu belum lapar, Nak. Kalian makanlah sampai kenyang.” Sartini berbohong. Padahal perutnya sudah perih melilit dari semalam.
“Nanda mau nambah sayurnya boleh, Bu?” tanya salah satu putranya.