Malam begitu gelap. Langit mendung mengisyaratkan akan turun hujan. Angin berembus kencang. Suami Tini yang pulang agak larut dari rumah Pak Mandor berjalan membawa senter. Saat itu dia bekerja pada sebuah proyek bangunan. Karena dia membutuhkan uang untuk acara tujuh bulanan kandungan sang istri, dengan terpaksa turun gunung dan pergi ke kota meminta upah pada pak Mandor.
Satri, begitu orang-orang akrab memanggil namanya. Dia merapatkan jaket untuk melindungi diri dari ganasnya udara malam. Di sakunya, segepok uang puluhan ribu bersembunyi dengan rapi.
Dua petugas polisi sedang berjaga di perbatasan kota, bertugas menangkap pencuri yang membuat keresahan warga akhir-akhir ini. Delapan petugas lainnya menyebar di sudut-sudut kota.
Dari jarak pandang sekitar setengah kilo meter, dua polisi itu melihat cahaya lampu. Mereka bersiaga dan berusaha tetap tenang. Semakin mendekati perbatasan, cahaya lampu itu lenyap. Satri kehabisan daya baterai, sehingga senternya mati di tengah jalan.
Hujan tanpa diundang datang. Membuat suasana semakin mencekam. Perjalanan Satri sampai ke rumah masih sekitar sepuluh menit lagi. Dia memilih lari demi melindungi uangnya agar tidak basah. Saat itu pula dua buah lampu menyorot ke arah Satri. Suami Sartini itu malah semakin kencang berlari karena hujan semakin deras.
“Jangan bergerak! Atau kutembak?” Suara salah satu anggota kepolisian itu tegas memberi peringatan.
Namun, hujan deras membuat samar-samar pendengaran. Satri semakin berlari kencang. Dia mengingat istrinya sudah lama menunggu. Laki-laki yang sekarang basah kuyup itu tidak terlalu menghiraukan apa pun yang berada di sekelilingnya. Di dalam pikirannya hanya ingin cepat sampai ke rumah.
“Sekarang!” perintah polisi satunya lagi.
Dor! Suara letusan pistol menjerit. Tubuh Satri terpelanting, menggelinding ke dekat mobil kepolisian. Darah segar mengalir dari dada. Disambut oleh rintik hujan yang semakin besar. Polisi bertubuh gendut hitam menyeret tubuh Satri ke dalam mobil jip. Polisi yang tadi menembak, mengecek seluruh tubuh pria malang itu.
Ditemukannya segepok uang dalam kantong Satri. Mereka semakin yakin bahwa yang mereka lenyapkan adalah seorang pencuri. Kedua polisi yang salah sasaran itu membawa Satri ke rumah sakit. Sayang, nyawa pria malang itu sudah terlebih dahulu melayang di jalan. Tadinya petugas itu hanya ingin membuat cedera. Tetapi karena gelap disertai hujan turun lebat, dia menembak sekenanya.
“Sudah hampir pagi begini, kenapa Mas Satri belum pulang, ya?” Tini terbangun dari tidur dan berbicara sendiri. Firasatnya mengatakan hal buruk terjadi.
Dia memilih bangun untuk salat Tahajud. Setelah perasaannya sedikit tenang, dia memikirkan hal-hal baik. Mungkin saja suaminya itu bermalam di rumah Pak Mandor karena hujan deras. Sambil menunggu subuh datang, Tini terus wirid dan doa agar suaminya tidak mengalami kendala apa pun. Bibirnya tidak berhenti bergerak melangitkan doa-doa.
Jam menunjukkan pukul enam lewat, hujan juga sudah reda dari setengah jam lalu. Seseorang yang ditunggu-tunggu oleh Tini tak juga menampakkan batang hidungnya. Wanita yang sedang mengandung tujuh bulan itu terus beristigfar. Tangannya selalu mengelus perut besarnya.
Berduyun-duyun orang datang ke rumah Tini. Mereka memperlihatkan wajah yang tidak menyenangkan. Ada beberapa tetangga yang turut berjajar dengan perangkat dusun di pelataran halaman rumah Sartini. Wanita hamil itu memandang aneh mereka semua. Diperhatikannya dari ujung kaki telanjang mereka yang penuh lumpur, hingga sudut mata yang mengisyaratkan berita layu.
“Ada apa ini?” tanya Tini diiringi suara jantung yang berdegup kencang.
Mereka semua tetap diam. Tini dalam kegelisahan yang semakin menjadi. Semuanya tidak sampai hati menyampaikan kabar duka itu.
“Ada apa Pak RT? tolong katakan padaku!”Tini mengulangi pertanyaan sama. Baju Pak RT berkali-kali ditariknya.
“Tenang, Bu Tini! Saya akan menyampaikannya di dalam.” Sebenarnya Pak RT tidak tega melihat kondisi Tini dengan perut yang begitu besar.
Tini mempersilakan Pak RT masuk ke dalam rumah.
“Suami Bu Tini telah tiada, maafkan saya, Bu.” Pak RT menunduk dalam.
“A-apa?” Tini sangat terkejut dan berteriak-teriak.
Para tetangga yang tadi berada di luar, menerobos masuk rumah. Berusaha menenangkan Tini.
Begitu jenazah sang suami sampai di hadapannya, Tini bertambah histeris. Dia tak percaya tubuh kaku itu adalah suaminya. Tini lalu pingsan. Dia tidak sadarkan diri sampai prosesi pemakaman selesai.
Saat sadar, masih banyak orang datang melayat. Tini sudah sedikit lebih tenang. Sekuat tenaga berjuang menerima kenyataan. Wanita yang sedang hamil besar itu sudah tidak menangis. Namun, tatapan matanya begitu kosong. Banyak hal yang merasuki pikirannya. Terutama bagaimana jika anak dalam kandungannya lahir tanpa ada ayah yang mengumandangkan azan. Tini begitu menderita.
***
Sebulan berlalu, Tini dimintai keterangan ke kantor polisi. Dua pelaku salah tembak sedang dihujat habis-habisan oleh seorang perwira tinggi. Berbondong-bondong warga setiap hari memberi keterangan bahwa Satri selama hidupnya tidak pernah berbuat kejahatan. Jangankan mencuri, untuk berhutang saja dia tidak berani. Kecuali sangat mendesak.
“Kalian goblok! Tidak punya otak, kenapa bisa salah sasaran?”
Suara petinggi berkumis tebal itu kedengaran sampai ke telinga Tini yang berada di ruangan berbeda.
“Suami saya bukan pencuri, Pak. Malam itu dia membawa uang dari hasil keringatnya sendiri. Dia pulang dari rumah Pak Mandor. Silakan Bapak bisa tanyakan langsung ke Pak Mandor.” Tini tetap tenang menjelaskan yang sebenarnya terjadi kepada salah satu anggota kepolisian. Usianya terlihat muda, kulitnya putih bersih.
“Baik. Kami akan membawa Pak Mandor ke sini untuk memberikan kesaksiannya,” kata polisi berkulit putih yang terus memberikan pertanyaan kepada Sartini.
Selang sepuluh menit, setelah polisi berkulit putih menugaskan anak buahnya untuk memanggil Pak Mandor, pria bertubuh tinggi besar itu datang. Matanya melirik sinis ke arah Tini yang duduk di sampingnya. Membuat wajahnya yang dipenuhi bopeng semakin terlihat menyeramkan.
“Tolong ceritakan kejadian sebenarnya malam itu, Pak!” pinta polisi berkulit putih kepada Pak Mandor.
“Memang betul, Satri ke rumah saya malam itu. Katanya, dia mau minta uang untuk acara tujuh bulanan istrinya. Saya terpaksa memberikan sejumlah uang yang dia minta karena Satri mengancam saya, Pak. Dia menodongkan pisau ke muka saya.” Pak Mandor tersenyum sinis kepada Tini.
“Apa?” Tini melotot tidak terima dengan cerita karangan Pak Mandor. “Pendusta kau Pak Mandor! Suami saya tidak pernah melakukan perbuatan terkutuk itu.”
“Kau ‘kan tidak pernah tahu apa yang dilakukan suamimu di luar sana selama ini.” Pak Mandor masih sinis.
“Dia berbohong, Pak Polisi.” Tini berteriak histeris.
Dua tetangganya yang tadi mengantar Tini langsung masuk ruangan untuk melihat keadaan wanita yang sedang hamil tua itu.
“Tenang, Bu.” Polisi berkulit putih itu berusaha menenangkan Tini. Lalu menyuruh dua tetangga Tini untuk membawa wanita malang itu ke ruangan lain.