Setelah kejadian itu, Tini benar-benar hidup sendiri. Beruntung, tetangganya begitu baik dan perhatian. Setiap hari para tetangga bergantian untuk menjaga Tini dan calon bayinya.
Sampai pada akhirnya, waktu yang ditunggu datang juga. Sembilan bulan lamanya janda itu membawa perut besar ke mana-mana. Hari ini tiba waktunya seorang anak manusia yang bernama wanita itu harus bersiap mempertaruhkan nyawa satu-satunya. Kata dokter, Sartini harus menjalani operasi caesar.
“Kamu pasti kuat, Tin.” Pinah menggenggam erat tangan Tini sebelum meninggalkan ruang operasi.
Tini sudah dibius. Seorang dokter wanita dan lima perawat mulai bekerja. Di luar ruangan, Pinah merasa was-was. Keringat dingin mengucur di tubuhnya.
Lorong rumah sakit terasa lengang. Pinah yang mendapat giliran menunggui Tini terus berdoa. Kursi-kursi penunggu banyak yang kosong. Pinah bisa sambil tiduran dan menyelonjorkan kakinya.
Awalnya, Pinah merasa lega karena telah mendengar tangisan seorang bayi setelah hampir dua jam menunggu. Ia sampai menitikkan air mata. “Alhamdulillah bayinya sudah keluar.”
Sambil menunggu dokter memanggil Pinah masuk, wanita itu mengabari Yati melalui HP jadul miliknya. Akan tetapi, suara tangisan bayi yang lain terdengar di telinga Pinah.
“Perasaan tidak ada pasien yang lain. Atau jangan-jangan bayi Sartini ada dua?” Pinah bermonolog sendiri dan tersenyum kegirangan. Berharap bayi Sartini kembar.
Setengah jam lebih Pinah menunggu dokter keluar dan menyuruhnya masuk ke dalam. Akan tetapi hal itu tidak terjadi. Hingga akhirnya Yati sudah tiba di rumah sakit dan menghampiri Pinah yang kelimpungan seperti orang bingung.
“Bagaimana keadaan Tini, Pin?”
Pinah mengangkat bahu. Ia sendiri merasa resah sejak tadi. Tidak tahu apa yang terjadi di dalam. “Aku tadi dengar suara bayi. Terus tidak lama terdengar lagi. Padahal tidak ada pasien lain selain Tini.”
“Apa maksudmu bayi Tini kembar?” Terpancar harapan di dalam kedua mata Yati.
“Yat ... Yat. Kamu dengar? Ada suara bayi lagi.” Pinah mengungkapkan kalimatnya dengan bergetar dan sedikit tak percaya.
Yati mengangguk-angguk. Ia merinding sendiri mendengar suara bayi yang saling bersahutan.
Dari lorong rumah sakit, dua pria berseragam polisi berjalan diikuti beberapa warga dusun Kedrayasa. Itu adalah polisi yang melakukan salah tembak terhadap suami Sartini.
“Selamat sore. Bagaimana keadaan Ibu Sartini dan bayinya?” tanya salah satu pria berseragam itu.
“Masih di dalam, Pak,” jawab Pinah terbata-bata. Sejauh ini, dia pun belum melihat kondisi tetangganya itu.
Seorang perawat mempersilakan dua polisi tadi masuk ke ruangan untuk mengazani bayi-bayi Sartini. Kemudian, dua polisi itu pun keluar lagi usai menengok Sartini dan bayinya. Mereka pergi untuk mengurus biaya persalinan Sartini dan administrasi lainnya.
Tak satu pun ada yang menyangka, bayi Sartini kembar. Bukan kembar dua atau tiga, tetapi empat sekaligus. Selama ini Tini tidak pernah melakukan pemeriksaan ke dokter atau USG. Jadi, wanita itu pun tidak pernah tahu jenis kelamin bayinya.
Awalnya Pinah dan Yati merasa syok. Bayi Tini benar-benar kembar. Empat sekaligus. Namun, bahagia telah menghapus kekagetan mereka. Tetangga yang lain juga ikut merasa kebahagiaan melihat ibu dan anak itu dalam keadaan sehat.
“Masyaa Allah, Tin ... siapa yang menyangka. Kamu dikasih rezeki anak yang banyak. Mereka sangat lucu,” puji Pinah menggendong satu bayi Sartini. Tini sendiri sudah dipindahkan ke kamar inap sekarang.
“Alhamdulillah, Pin. Terima kasih semuanya. Sudah mau datang ke sini.” Raga Sartini masih tergolek lemas di atas ranjang berwarna putih. Namun, dia tetap memaksakan diri menyapa beberapa tetangganya yang datang menjenguknya.
Semua tetangga terkagum-kagum melihat bayi Sartini lucu-lucu. Mereka merasa gatal ingin menggendong bayi-bayi yang sedang memejamkan mata di ranjang kecil.
Pinah dan Yati menyarankan agar anaknya dirawat oleh mereka saja saat sudah pulang dari rumah sakit nanti. Tini tentu saja langsung menolak.
“Maksud kita baik kok, Tin. Kamu kan tahu, aku belum diberikan keturunan. Tak ada salahnya bayimu untukku satu. Aku hanya merasa kasihan melihat kondisimu.”
“Tidak, Pinah, aku tahu maksudmu baik. Tapi aku tidak ingin berpisah dengan anak-anakku.”
“Aku pikir juga kalau kamu mau, bisa memberikannya padaku. Biar jadi adiknya Zidan, anakku. Tapi kalau kamu tidak setuju, ya sudah tidak masalah. Kita akan tetap bergantian untuk ikut membantu merawat anak-anakmu,” tambah Yati.
“Aku tidak tahu cara berterima kasih pada kalian, juga pada ibu-ibu yang lain. Aku akan berusaha membesarkan anak-anak dengan tangan ini.” Tini mengepalkan tangan. Ia merasa tidak sanggup berpisah dengan bayi-bayinya.