Lima tahun berlalu begitu saja. Bayi-bayi mungil Sartini sekarang sudah bisa berlarian. Masing-masing bernama Reino, Reina, Nanda dan Nindi. Umur mereka kini seharusnya sudah menginjak masa taman kanak-kanak. Tetapi Tini tidak pernah memiliki pikiran memasukkan anak-anaknya ke sekolah TK. Selain karena kendala biaya, waktu Tini pasti akan habis di sekolah untuk menjaga dan mendampingi mereka.
Janda beranak kembar itu sudah pasrah ketika dua polisi yang menjadi gantungan hidupnya itu datang memberikan jatah untuk terakhir kalinya. Sesuai perjanjian, mereka hanya membiayai hidup Tini sampai keempat anaknya berumur lima tahun.
“Terima kasih banyak atas bantuan Bapak berdua selama ini,” ucap Tini pada dua polisi salah tembak.
“Sama-sama, Bu. Kami minta maaf karena sesuai perjanjian, hari ini adalah terakhir kalinya kami memberi bantuan pada Bu Tini.” Suara Antony agak berat. Rupanya dia masih ada rasa bersalah yang terselip di hatinya. Dia yang waktu itu tidak sengaja menembakkan peluru ke tubuh Satri.
“Semisal Bu Tini perlu bantuan, Ibu bisa datang ke kantor,” tambah Irawan. Polisi yang memerintahkan Antony untuk menembak Satri yang disangka sebagai maling.
Dua polisi berbadan tegap itu memohon diri. Tini memandangi amplop berisi uang. Setelah ini, wanita itu harus memutar otak untuk mencari cara agar keluarganya bisa tetap makan.
***
“Saya mohon Pak RT tidak keberatan membantu untuk memberikan pekerjaan.” Tini tengah memelas kepada Pak RT yang ditemuinya sejak sepuluh menit lalu. Tangan Sartini tidak berhenti meremas ujung bajunya.
“Maaf Bu Tini, bukannya tidak mau. Tapi memang benar tidak ada. Di balai dusun sudah terisi semua posisi untuk bantu bersih-bersih. Di rumah saya juga sudah komplit pembantu dan tukang kebun.” Pak RT tidak tega melihat raut wajah Sartini yang begitu pasrah. Terlebih lagi dia tahu wanita ini harus menghidupi anaknya yang masih kecil-kecil.
“Sebenarnya ada satu pekerjaan yang bisa dilakukan, Bu. Tapi yang saya butuhkan adalah tenaga laki-laki. Karena pekerjaan ini cukup berat.”
“Katakan saja, Pak! Mungkin saya bisa melakukannya.” Tini tetap bersikeras dan enggan menyerah.
“Saya mempunyai kambing berjumlah sepuluh ekor. Saya butuh orang yang bisa ngangon, Bu. Tapi kalo untuk wanita, sungguh saya tidak tega.”
“Tidak apa-apa, Pak. Yang penting halal.” Wajah Sartini berubah menjadi lebih cerah.
Pak RT akhirnya setuju. Tini meminta pada Pak RT agar membagi tugasnya menjadi dua waktu. Setiap pagi, lima kambing pertama diangon Tini di hutan. Sore harinya, lima kambing yang lain. Pak RT sepakat.
***
Si kembar Reina, Reino, Nindi dan Nanda dititipkan di rumah Pinah dan Yati. Kedua tetangga yang baik itu tidak pernah keberatan. Justru mereka sangat senang. Sudah sepekan Tini bertugas mengangon kambing.
Tini mengelap wajahnya dengan kerudung pendek yang ia kenakan. Kaus kumal panjang yang dikenakannya basah oleh keringat. Kedua matanya menangkap kambing-kambing gemuk milik Pak RT memakan rumput dengan lahap. Sudah tidak rewel lagi seperti tadi. Wanita itu susah payah membawa kambing-kambing itu ke hutan. Beruntung, Kedrayasa masih banyak lahan hijau yang kosong. Kambing-kambing itu bisa makan sepuasnya.
Saat matahari hampir tergelincir ke barat, Tini sedang kelelahan selepas pulang dari menggembala kambing, tiba-tiba ada tamu datang. Tini sedang mengipas-ngipaskan koran bekas ke badannya yang penuh keringat di emperan. Dia langsung menyambangi tamu itu setelah tahu yang datang adalah Bu Mandor.
“Maaf Bu, saya bau keringat. Baru pulang mengangon.” Tini mempersilakan Bu Mandor untuk duduk lesehan di atas tikar yang pinggirannya penuh bekas gigitan tikus. Karena hanya itu yang dia punya.
“Tidak masalah, Tin. Saya sudah mendengar semuanya. Kedatangan saya kemari justru ingin menawarkan kamu pekerjaan yang lebih baik daripada mengangon kambing milik Pak RT.”
“Maaf, tapi pekerjaan apa itu¸ Bu?” tanya Tini penasaran.
“Ada teman pindahan dari luar kota, membeli rumah tidak jauh dari tempat tinggalku. Dia membutuhkan asisten rumah tangga. Untuk gaji, dipastikan bisa untuk mencukupi kebutuhan keluargamu. Sekalian kamu bisa antar jemput anak-anakmu ke sekolah.”
Tanpa berpikir panjang, Tini langsung mengiyakan tawaran Bu Mandor. Dia tahu, tidak selamanya upah dari mengangon kambing Pak RT bisa terus mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Juga karena lokasi yang dimaksud Bu Mandor dekat dengan sekolah anak-anak. Sekali lagi Tini menyeka keringat di dahinya menggunakan lengan tangan.
“Kau bisa langsung datang, besok Tin.”
“Insya Allah, Bu. Terima kasih banyak infonya.”
Bu Mandor berpamitan setelah cukup lama berbincang, dia menyerahkan amplop berisi uang untuk membantu kehidupan Tini. Wanita single parent itu berkali-kali mengucapkan banyak terima kasih kepada Bu Mandor.
Petang itu juga Tini ke rumah Pak RT untuk meminta maaf tidak dapat melanjutkan pekerjaannya seperti sedia kala. Pak RT dengan penuh pengertian tentu saja memberi izin dan mengucapkan banyak terima kasih kepada Tini.