Kedua majikan Sartini sudah berangkat ke kantor. Tini baru saja mengantar anak-anak ke sekolah. Sekarang wanita itu sendirian beradu dengan pekerjaan rumah yang menumpuk. Tugas memasak sudah diambil alih oleh istri Pak Bram, yang tidak lain adalah Bu Intan. Tini tinggal bersih-bersih dan membereskan barang-barang yang berantakan.
Tini buru-buru membereskan kamar sang majikan. Ada sisir dan beberapa helai rambut rontok yang tercecer di lantai. Selimut dan seprei sudah berkumpul di tengah-tengah kasur bersama bantal dan guling. Sudah seperti urap saja. Namun, berkat dua tangan Tini yang cekatan kamar majikannya sekarang sudah rapi seperti baru disulap.
Suara detikkan pada jam dinding terus bergema. Ketika jarum pendek sudah ke angka sebelas, Tini bergegas menjemput anak-anak. Langit yang gelap mengisyaratkan akan turun hujan. Benar saja, belum sampai rumah sang majikan, muntahan air dari langit sudah mengguyur sebagian wilayah bumi. Tini memerintahkan kepada lima anak kecil itu untuk segera masuk ke dalam rumah. Sementara dirinya mengangkat jemuran di belakang rumah. Ada beberapa lembar pakaian yang terkena tetesan air dari langit dan membuatnya basah.
Dalam syahdunya irama rintik hujan, Sartini dan keempat anaknya tak sengaja terlelap di atas lantai. Tidak peduli dengan teror dingin yang mengucuri seluruh tubuh. Anak-anak itu ikut tidur setelah melihat sang ibu tertidur di lantai. Tubuh Tini yang kelelahan tak sanggup menolak rasa kantuk yang datang.
Lain cerita dengan Mutiara—anak sang majikan. Dia sama sekali tidak dapat memejamkan mata. Berguling-guling di atas kasur empuknya. Baginya, Sartini dan anak-anaknya itu mirip mayat yang tergeletak di lantai. Dia begitu gelisah. Apa yang akan dilakukannya ketika banyak orang di rumah, tapi mereka tidak dapat menemani dirinya bermain.
Saat hujan mulai reda, Pak Bram pulang dari kantor. Dia hanya menggelengkan kepala saat melihat asisten rumah tangganya beserta anak-anak tidur lelap di lantai. Kemudian dia memanggil nama putrinya.
“Tiara ....”
Yang dipanggil tak kunjung menyahut. Pak Bram bergegas mengecek ke seluruh ruangan termasuk toilet. Akan tetapi, putri semata wayangnya itu tidak ditemukan. Dia ragu ingin membangunkan Tini yang terlelap. Akan tetapi mengingat anaknya hilang, dia tetap melakukannya juga.
“Bu Tini, Mutiara tidak ada di mana-mana.” Suara Pak Bram membangunkan Tini. Wanita itu masih setengah sadar. Mengernyitkan dahi, pelan membuka mata.
Ketika nyawanya sudah terkumpul sempurna, Tini panik bukan kepayang. Dia membangunkan Reino dan Nanda untuk turut mencari di sekitar rumah. Tini dan Pak Bram turun ke jalan sambil berteriak memanggil Tiara. Sementara yang dicari malah bersembunyi di balik pot besar.
“Tiara ada di sana, Bu,” cetus Nanda menunjuk sebuah pot besar yang berada di depan jendela kamar Pak Bram.
Pak Bram yang hampir putus asa menyambut putrinya. Gadis kecil itu perlahan keluar dari balik persembunyian. Dia menyerahkan diri setelah merasa tertangkap basah. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, gadis itu basah kuyup. Bibirnya menggigil menahan hawa dingin. Tini menghela napas lega.
“Dari mana saja kamu, Sayang? Papa sangat cemas.” Pak Bram mulai menginterogasi bidadari kecilnya.
Mutiara hanya menunduk tak menjawab. Bibirnya semakin bergetar hebat. Tini segera menuntunnya ke kamar mandi untuk membasuh tubuh Tiara menggunakan air hangat.
“Pakai ini dulu, ya! Setelah itu, Bu Tini akan buatkan bubur.” Tini mengoleskan minyak kayu putih ke tubuh Tiara. Lalu memakaikan sweter tebal lengkap dengan syal ke lehernya.
Lima menit saja bubur buatan Tini sudah masak. Sebelum menyuapkan bubur ke mulut Tiara, Tini memberikan susu hangat. “Maafkan Ibu, Nak. Gara-gara ibu ketiduran jadi tidak tahu apa yang terjadi. Kalau boleh tahu, tadi sebenarnya Tiara ke mana?”
“Tiara hanya main hujan-hujanan, Bu. Seperti anak-anak yang lain. Selama ini papa sama mama enggak pernah ngizinin Tiara hujan-hujanan,” jawab Tiara polos.
“Kamu tidak salah kok. Hanya saja, kalau mau bermain di luar, ada baiknya minta izin terlebih dahulu. Setidaknya kamu bisa membangunkan ibu tadi. Nanti setelah makan bubur, Tiara minta maaf sama papa, ya. Karena sudah bikin cemas.”
Tiara mengangguk mengerti. Suapan bubur nasi yang dikombinasikan dengan campuran daging dan sayuran sedikit demi sedikit masuk ke mulut mungil Tiara hingga tandas.
Pak Bram yang dari tadi memperhatikan perbincangan sang putri dan pembantunya itu merasa bersalah. Dia sadar sering melarang anaknya bermain di luar. Putri kecilnya itu pasti merasa sangat kesepian. Padahal, waktu dirinya masih kecil dulu suka sekali bermain air hujan. Dia mengingat masa-masa kecil, orang tuanya tidak pernah melarang hujan-hujanan.
Pak Bram tersenyum sendiri. Merasa geli karena dulu saat dirinya belum disunat, bebas tanpa sehelai kain pun yang menempel ke tubuh saat bermain air hujan.
“Pa, maafin Tiara, ya. Udah bikin Papa panik.” Wajah gadis kecil itu tampak memelas. Pak Bram meletakkan laptopnya di atas meja. Dia mengusap rambut anaknya lalu melayangkan kecupan di dahi Tiara. Kemudian gadis kecil kesayangannya itu dituntun untuk duduk di pangkuan.
Pak Bram menggeleng, “Papa tidak marah. Lain kali Tiara harus menurut sama Bu Tini, ya.”
Mutiara mengangguk lalu memeluk tubuh ayahnya. Hari ini Pak Bram di mata Tiara tidak seperti biasanya. Gadis kecil itu sempat berpikir sang ayah akan memarahi dan tidak berhenti memakinya. Mutiara sangat bersyukur hal itu tidak terjadi.
“Sekarang kamu istirahat, ya!” perintah Pak Bram. Disusul dengan kecupan hangat di kening Tiara. Anak kecil itu mengangguk lagi. Melepaskan pelukan ayahnya. Dia menuju kamar untuk beristirahat.
Tini yang sedari tadi menunggu giliran untuk minta maaf, segera menemui majikannya itu.
“Saya juga mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kecerobohan yang telah dibuat, Pak.” Tini terus menunduk karena merasa bersalah. Dia merasa sangat ceroboh. Padahal ini adalah hari pertamanya bekerja.
“Sudahlah, Bu. Tidak apa-apa. Yang penting sekarang semua baik-baik saja. Oh ya, tolong panggilkan anak-anak Bu Tini ke sini, ya.”
“Terima kasih, Pak. Saya tidak akan mengulangi perbuatan yang sama lagi.” Tini kemudian memanggil anak kembarnya yang sedang menyusun lego di kamar bermain.
“Anak-anak! kalian dipanggil sama papanya Tiara.”
“Yahh, masih seru nih, Bu.”