Kuncup Berlian

Ais Aisih
Chapter #6

Bagian 6

Jalan menanjak ke lereng gunung begitu basah. Aspal menyatu dengan lumpur di mana-mana. Belalang dan katak seolah saling berlomba. Melompat ke sana dan kemari. Tidak ada guratan lelah di wajah si miskin, mereka tetap menyusuri jalanan dengan penuh kebahagiaan. Pada suatu sore, Sartini beserta empat anaknya berjalan pulang.

“Anak-anak, sebaiknya kita lepas alas kaki saja. Besok sepatu kalian harus dipakai lagi.” Sartini melepas sandal jepitnya. Mencontohkan pada si kembar. Jika tetap memakai sepatu, lumpur akan menempel pada alas kaki mereka, tentunya akan lebih merepotkan saat besok dikenakan kembali.

Anak-anak polos itu suka ria berjalan dengan telanjang kaki, membawa sepatunya masing-masing.

Sesampainya di rumah, hujan turun lagi. Perut mereka seperti dipenuhi dengan cacing yang berdisko. Kondisi itu membuat Tini terisak. Dia lupa stok makanan di rumah habis. Di balik hujan lebat, seperti ada malaikat muncul. Pinah datang tergopoh-gopoh memakai payung hitam besar. Dia membawa rantang berisi banyak makanan. Hari ini tidak akan ada lapar menyerang keluarga Tini yang malang.

“Aku tahu kalian pasti belum makan, ‘kan?” tanya Pinah sembari menyodorkan rantang.

“Betul Bu Pinah, kami sedang menahan lapar. Ibu sedang tidak punya persediaan makanan,” ungkap Nanda memelas.

Pinah menanggapi dengan senyuman dan mengelus kepala Nanda.

“Tini, aku mau bicara berdua denganmu saja,” desak Pinah.

“Baik, kita bisa ke kamarku.”

“Anak-anak, kalian makan yang rapi. Jangan saling berebut, ya!” titah Tini.

“Baik, Bu,” jawab anak-anak kompak.

Tini dan Pinah duduk di atas kasur yang biasa digunakan sebagai alas tidur. Kasur itu berisi kapuk yang sudah berumur. Banyak lubang di sana-sini membuat kapuk terlihat mengintip dari balik kasur. Pinah gugup. Dia terus meremas-remas jari tangannya sendiri.

“Terima kasih loh, Pin. Kamu sudah sangat baik kepada keluargaku. Seperti bisa mendengar suara hati kami saja. Saat kami lapar, kau datang membawa makanan.” Tini memulai obrolan dengan sebuah pujian.

“Sama-sama Tin, tadi aku masak banyak. Daripada mubazir kebuang. Jadi aku bawa sini saja.”

“Oh, ya. Pak Karno apa kabar? Hampir tiap pagi aku tidak lagi mendengar ayam jagonya bersuara.” Pak Karno adalah suami dari Pinah, usia mereka beda hampir lima belas tahun. Makanya Tini memanggil suami Pinah dengan sebutan “pak”.

“Sudah tiga hari memang jago itu sakit. Tadi pagi sudah kejang-kejang. Jadi, aku nyuruh suami untuk sekalian menyembelihnya.”

“Apa ayam yang sedang anak-anakku makan itu jago milik Pak Karno?”

Pinah mengangguk. “Benar, Tin. Itu jago yang tadi pagi sempat kejang.”

“Duh, maaf ya, Pin. Aku kok jadi merasa enggak enak. Masa jago kesayangan suamimu yang makan malah keluargaku.”

“Enggak papa kok, Tin. Lagi pula aku hanya bisa ngasih itu aja. Suamiku juga tidak tega untuk memakannya. Jadi lebih baik orang lain saja yang memakannya.”

“Oh, ya. Hampir saja lupa. Tadi kamu katanya mau bicara. Apakah sangat penting? Sampai-sampai enggak boleh kedengaran anak-anak?” Tini memasang wajah penasaran.

Pinah kembali meremas tangannya. Dia merasa begitu tegang. Kemudian meraih kedua tangan karibnya. “Begini, Tin.”

“Sepertinya kau sangat gugup, sebentar aku ambilkan minum dulu, ya.”

Tini menuang air putih dari kendi. Lalu memberikannya kepada Pinah. Dengan gemetar, istri Pak Karno itu menenggak minuman hingga setengahnya. Bintik-bintik keringat di dahi Pinah bermunculan. Rambutnya pun basah oleh keringat ketegangan di balik kerudung hijaunya.

“Begini, Tin.” Pinah meraih kedua tangan Tini untuk kedua kalinya. Membuat janda itu tertegun.

“Kau ‘kan tahu aku dan suamiku sangat kesepian tanpa anak-anak. Suamiku meminta untuk mengadopsi dua anakmu. Tentu kalau kamu tidak keberatan. Jujur, aku dan suami tidak tega melihat anak-anak kelaparan.”

Tini melepaskan tangan karibnya itu. “Pin ... Pin. Sudah kukatakan padamu bolak-balik. Kamu sudah kuanggap saudara. Bisa kapan saja kamu menemui anak-anakku. Tapi tolong, jangan pernah pisahkan aku dengan darah dagingku sendiri.”

Tini menangis bebas di hadapan Pinah. Air matanya tak tertahankan keluar. Batinnya seperti perih tergores luka. Dia berpikir bahwa Pinah baik selama ini karena ingin mendapatkan anak kandungnya.

“Pin, tolong mulai besok, kau tak usah lagi memberikan kami makanan. Aku dan anak-anakku tidak mau menjadi beban untuk kau dan suamimu.”

“Sungguh niat kami tulus, Tin.” Sama halnya dengan Tini. Air mata Pinah juga berkembang di sudut matanya. “Kau jangan salah sangka dulu.”

Lihat selengkapnya