Sepekan ini matahari sedang enggan keluar dari peraduannya. Tini menghela napas panjang. Pakaian belum kering milik majikannya sudah mirip barang dagangan di pasar malam. Saling bergantungan di tempat jemuran. Satu pun belum ada yang bisa untuk disetrika. Apalagi dia tahu, besok adalah jadwal kedua majikannya berganti seragam. Tini harus berpikir keras agar bisa membuat baju-baju itu kering.
Mendadak di kepala wanita itu menyala lampu bohlam. Ide mengalir dari otaknya sampai ke alam bawah sadar. Sebenarnya bukan karena pintar, tapi keadaan yang sering memaksa Tini untuk cepat berpikir menyelesaikan masalah. Seperti saat dia harus menghadapi anak-anaknya ketika sedang kelaparan. Meskipun harus kelimpungan, wanita itu akan membuat perut-perut tak berdosa itu mendapatkan haknya.
Dalam waktu lima menit saja Tini berhasil mengumpulkan seluruh kipas angin yang ada di rumah itu. Jumlahnya semua ada empat. Dia tahu saat musim hujan begini, Pak Bram dan istrinya jarang menyalakan AC. Mereka menggantinya dengan kipas angin. Tini mencolokkan sebuah terminal ke dalam stop kontak. Lalu steker kipas angin disambungkan pada setiap lubang terminal. Kipas-kipas itu diatur dengan kecepatan angin paling besar.
Hawa dingin langsung menyergap ruangan berukuran 4x5 meter itu. Ruangan yang memang biasa digunakan untuk tempat menyetrika pakaian. Juga menyimpan barang-barang yang sudah tak terpakai. Tini tersenyum penuh kemenangan setelah merealisasikan idenya.
Dia benar-benar merasa sebagai wanita perkasa seperti di film-film. Dibiarkannya empat kipas itu bekerja mengeringkan pakaian. Setelah itu, dia harus menjemput anak-anak. Menyiapkan makan siang Tiara dan juga keempat anak-anaknya. Sepuluh menit, anak-anak sudah sampai di rumah sang majikan, mengganti seragam sekolah dengan baju bermain yang dibawa Sartini tadi pagi. Kemudian, memakan makanan yang telah disediakan oleh sang ibu.
“Tiara, kenapa makananmu selalu masih banyak? Lihatlah kami, selalu menghabiskan makanan ini,” tanya Reino melihat temannya itu selalu menyisakan nasi beserta lauknya di piring. Sementara Reino dan ketiga saudara kembarnya secepat kilat menghabiskan makan siangnya.
“Aku tidak nafsu. Kalau mau, kamu saja yang menghabiskannya.” Tiara meninggalkan piring yang masih berisi hampir penuh oleh nasi serta ayam goreng dan dia beranjak ke kamar bermain.
Reino dan ketiga saudaranya sama-sama menghabiskan nasi milik Tiara. Perut mereka tidak pernah merasa kenyang. Piring masih tergeletak bebas di atas karpet evamart setelah mereka selesai makan. Reino dan Nanda masih asyik menonton robot kesayangannya. Mata mereka tidak mau beralih dari benda elektronik berbentuk kotak itu. Sementara Nindi dan Reina menyusul Tiara bermain boneka barbie di kamar bermain.
“Anak-anak, sekarang waktunya kalian tidur siang.” Tini memanggil semua makhluk mungil itu karena sudah cukup lama mereka bermain. Keempat saudara kembar itu tidur di atas evamart depan TV.
Mutiara beranjak ke kasur empuknya. Tini memeriksa seluruh ruangan, barangkali ada pekerjaan yang terlewat. Ternyata tinggal menyetrika saja. Dia menunggu sekitar dua jam lagi untuk membuat pakaian-pakaian itu bisa disetrika. Sebelum menyusul putra-putrinya untuk tidur, Tini memastikan Tiara sudah terlelap sempurna. Anak itu sudah memejamkan mata sambil memeluk guling berkepala Mini Mouse. Sementara di luar, gerimis masih menyapa. Belum mengabarkan kapan matahari akan bersinar.
Baru ingin memejamkan mata, Tini langsung bangkit, berlari membuka pintu gerbang. Tadi ia mendengar suara mobil berderung. Pak Bram sudah pulang. Dia memang selalu pulang jam dua siang. Kecuali ada urusan mendesak baru pulang sampai sore. Sementara majikan wanita Tini malah pulangnya sore hari. Kadang jam lima atau hampir magrib.
“Ini ada donat untuk Bu Tini dan anak-anak.” Sebuah kotak berisi kue berbentuk bulat yang memiliki lubang di tengah itu sudah berpindah ke tangan Sartini.
“Tiara mau donat, Pa.” Gadis kecil itu mengucek matanya.
“Loh, Tiara sudah bangun?” Pak Bram mengamati dua mata Tiara yang terlihat menahan kantuk. “Biasanya Papa bawain donat kamu enggak pernah mau.”
“Ini, Nak. Kamu bisa ambil yang kamu suka.” Tini membuka kotak donat yang memiliki merek terkenal itu.
“Satu saja Tiara, sisanya untuk teman-temanmu.” Pak Bram mengingatkan putrinya ketika hendak mengambil satu donat dengan topping cokelat dan stroberi.
Tiara tidak jadi mengambil dua donat. Dia hanya menyomot satu donat yang dilumuri coklat di atasnya.
“Tidak apa-apa, Pak. Biar Mutiara bisa makan sesukanya.” Tini meletakkan kotak itu di atas meja. Lalu beranjak ke belakang.
“Tumben banget anak Papa mau makan donat.”
“Abisnya Tiara laper sih.”
“Loh, emangnya Tiara enggak makan tadi?”
“Makan sedikit. Sisanya dimakan sama temen-temen.”
Tini yang hendak melangkah ke dapur sedikit terkejut. Menghentikan langkah. Asisten rumah tangga di rumah itu tidak sengaja mendengar percakapan antara ayah dan anak itu. Dia tidak percaya anaknya memakan makanan sisa bekas anak majikannya. Memang mereka miskin, tapi jika benar hal itu terjadi, maka yang paling disalahkan adalah Tini sendiri.
Selama ini mungkin ada yang salah dengan didikannya. Tini terus melamun sambil menyetrika pakaian yang akan dikenakan majikannya besok.
Setelah selesai, dia membangunkan anak-anaknya untuk bersiap-siap pulang. Sebelum bergerak ke arah jalan pulang Tini membawa pasukannya berbelok arah. Bukan arah ke jalan pulang.
“Loh, Bu kita mau ke mana?” tanya Reina tergesa-gesa mengikuti jalan cepat ibunya.
“Ke warung. Nanti kalian boleh ambil apa saja di sana.”
“Horeee ....”
Suara riang anak-anak menyebar ke mana-mana. Membuat perkumpulan ibu-ibu kompleks yang sedang bergosip di salah satu rumah warga mengalihkan perhatian mereka kepada si miskin yang bahagia. Mereka kemudian saling membisikkan sesuatu. Menatap keluarga Sartini dengan sinis.
“Lihat tuh, anak-anak Kedrayasa memprihatinkan banget, ‘kan?” ucap salah satu ibu berambut pendek. Bedaknya agak tebal. Bibirnya merah terang karena diolesi lipstik.
“Oh, itu anak lereng gunung?” sahut ibu-ibu yang lain. “Enggak banget deh penampilannya.”