Langit sudah hampir mengantarkan matahari pada senja. Mendung tetap membuat cahayanya samar. Di depan pintu rumah sudah ada tamu yang menunggu. Di tangan kanannya memegang keresek hitam berukuran besar. Seorang wanita yang sudah cukup lama tidak berkunjung ke rumah, setelah anak-anak Tini belum lama memasuki tahun ajaran baru.
“Eh, Yati. Sudah lama menunggu?” Tini menaruh sembarangan sandal jepit miliknya. Dia dan anak-anak baru tiba di rumah. Mereka bersalaman layaknya sahabat yang lama tak bersua. Padahal rumah mereka berdekatan, tetapi mereka memang jarang sekali bertemu. Mengingat Tini selalu pulang saat matahari mulai tergelincir ke barat.
“Lumayan, Tin. Ini ada jeruk, tadi saudaraku datang membawakannya.”
“Loh kok repot-repot? Ini enggak kebanyakan, Yat?” Tini menerima keresek berisi jeruk dan melongokkan kepalanya ke dalamnya.
“Enggak kok, lagi pula itu hasil panen sendiri.”
“Terima kasih banyak loh, Yat. Maaf banget aku enggak bisa ngasih apa-apa ke kamu.”
“Loh kamu ini apa-apaan sih, Tin. Kita itu sudah kayak keluarga.”
“Iya kamu benar. Kenapa anakmu tidak pernah diajak kemari? Apa dia tidak mau menginjak rumahku yang jelek ini, ya?”
“Zidan baru pulang main. Terus aku suruh buat mandi. Rumahku juga jelek, Tin. Yang penting kita punya tempat berteduh. Itu jeruknya sambil dicicipi, Tin.” Yati menunjuk ke arah keresek besar hitam.
“Nanti saja, aku sedang rindu sama kamu. Lagi pula pasti enak kok tanpa dicicipi.”
“Ah, kamu bisa aja. Oh iya, kamu udah njenguk Pinah belum?”
“Pinah? Kenapa dia? Satu minggu ini aku belum mendengar kabarnya.”
“Katanya infeksi saluran kencing. Sudah sampai operasi segala. Aku juga belum sempat menengok, Tin. Kalau mau, besok kita ke rumah sakit sama-sama.”
“Sungguh aku baru mendengarnya, Yat. Kebetulan besok Sabtu, aku tidak masuk kerja karena majikanku libur ngantor.” Tini lalu memikirkan kejadian terakhir Pinah datang ke rumahnya. Bisa jadi dia jatuh sakit karena perkataannya waktu itu. Ada perasaan bersalah menyelinap.
“Tin, sudah azan. Aku mau pulang dulu ya.” Yati ingin pamit, tapi Tini menahannya.
“Tunggu sebentar, Yat. Kau salat di tempatku saja. Aku mau membicarakan hal penting denganmu.”
“Apa itu, Tini? Jangan bikin aku khawatir!”
“Kita salat dulu. Nanti kuceritakan semua padamu. Ini menyangkut Pinah.”
Suara iqamat melantun dari arah surau kecil di lereng gunung itu. Kedrayasa saat itu mulai gelap. Yati, Tini, Nindi dan Reina salat bersama-sama. Reino dan Nanda sudah lari ke surau membawa sarung sejak azan berkumandang tadi. Semua menyelesaikan tiga rakaat ditambah salat sunah.
“Reina, Nindi! Karena kita ada tamu, sementara kalian murajaah sendiri dulu ya,” perintah Tini pada kedua putrinya.
“Baik, Bu,” sahut Reina dan Nindi bersamaan.
Anak-anak penurut itu pindah ke ruang keluarga yang multifungsi digunakan untuk ruang tamu, ruang makan dan tempat mengaji. Di sana hanya terbentang tikar yang sudah berumur tua. Tini belum sempat mengganti dengan yang baru. Dinding rumah mereka juga terdapat banyak lubang. Belum sempat terjamah dengan penggantinya. Lagi-lagi soal uang yang menjadi alasannya.
Nyamuk liar yang berdatangan dari arah kebun bebas menerobos masuk. Nindi dan Reina menjadi mangsa para nyamuk. Mereka berkali-kali mengkaji Alquran diiringi gigitan makhluk pengisap darah itu. Nindi menggaruk-garuk tangan dan wajah bekas gigitan nyamuk. Meninggalkan warna merah di kulit.
Ibu mereka tetap duduk di tempat salat berukuran sempit, bersama tamunya. Tini dan Yati masih mengenakan mukena. Menjaga wudu menunggu sampai waktu isya datang.
“Kau mau minum apa, Yat?”
“Aku enggak ingin apa-apa. Lagi pula nanti malah jadi bolak balik ke kamar kecil. Saatnya kamu cerita, Tin. Aku sudah dirundung penasaran dari tadi.”
“Itu, yat. Anu ....”
“Yang jelas, Tin. Anu apa?” Yati menunggu kata-kata Tini tidak sabaran.
“Si Pinah waktu itu datang kemari membawa makanan. Aku pikir dia sakit gara-gara memikirkan perkataanku.”
“Jangan dulu berpikir begitu. Pinah itu memang orangnya sering menahan air seninya. Jadi wajar saja kalau dia menderita penyakit itu.”
“Tidak, Yat. Aku tetap merasa bersalah. Mungkin perkataanku agak sedikit kasar. Dia membujukku kembali untuk memberikan dua anakku untuknya. Pak Karno juga menginginkan hal sama. Dia meminta Pinah untuk mengatakan padaku.”
“Tentu saja, Yat. Aku menentang keinginannya. Sudah kukatakan hal sama berkali-kali. Harusnya dia bisa mengerti. Aku sempat menyangka selama ini dia dan suaminya baik kepada keluargaku karena ada maunya,” lanjutnya.
Tini mengusap dadanya yang sesak mengungkit kembali hal itu. Yati yang mendengarkan semua cerita karibnya itu sampai menutup mulut seperti tak percaya. Dia mengambilkan air minum untuk Tini yang hampir menangis.