Aroma aneka macam obat begitu menyengat menghiasi hidung. Banyak orang berseragam putih berlalu lalang. Berseliweran juga keluarga pasien. Tini dan Yati menuju ruang informasi untuk mengetahui ruangan sahabat mereka dirawat. Setiap melewati lorong, keduanya bagai melihat pertunjukan drama yang dimainkan berbagai karakter.
Seorang wanita setengah baya menjerit meluapkan tangis. Menurut penjelasan seorang perawat, anak dari ibu itu mengalami perdarahan setelah melahirkan. Tini dan Yati turut merasa pilu mendengarnya. Entah mengapa tubuh mereka mendadak lemas.
Bergerombol orang berlarian mendorong brankar pasien ke arah IGD. Tini menutup mukanya tidak kuasa saat melihat pasien di atas brankar itu bersimbah darah. Sepertinya pasien itu adalah korban kecelakaan. Banyak hal mengejutkannya. Dia tidak pernah berpikir akan melihat banyak penghuni rumah sakit itu lalu lalang melewati dirinya.
Ada lagi seorang pasien yang kepalanya dibalut perban. Anggota tubuhnya tidak lengkap karena amputasi, didorong menggunakan kursi roda. Membuat Tini benar-benar prihatin. Dia merasa begitu beruntung diberikan kesehatan yang utuh.
“Perasaanku kok enggak enak ya, Yat.” Tini mendadak berhenti saat sampai di depan pintu ruangan Pinah dirawat. Dia canggung akan menemui sahabatnya. Rasa bersalah yang menguasai belum juga luntur. Membuatnya maju-mundur untuk menarik gagang pintu.
“Enggak enak gimana? Kita udah sampai kok malah berhenti di sini. Ayo kita langsung masuk saja!” ajak Yati.
Tini malah membayangkan hal aneh. Begitu bertemu Pinah dia akan diusir mentah-mentah. Atau mungkin saja saat berpapasan dengan Pak Karno, bisa jadi muka galak suami Pinah akan keluar. Tapi Tini segera menepis pikiran itu demi mengikuti langkah cekatan Yati.
Tanpa basa-basi Yati langsung menyalami Pinah yang masih terbaring di ranjang putih khas rumah sakit. Di sampingnya ada Pak Karno yang turut mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Semua hal yang dibayangkan Tini tadi, nyatanya tidak terjadi. Hal sebaliknya malah dilakukan pasangan Pinah dan Pak Karno. Mereka tetap ramah dan menunjukkan wajah semringah melihat kedua karibnya datang.
“Saya akan keluar sebentar mencari minum.” Pak Karno undur diri. Lebih tepatnya dia tidak ingin menjadi pengganggu perkumpulan para wanita.
“Pinah, bagaimana keadaanmu?” Yati membuka percakapan.
“Dokter sudah mengizinkan aku pulang besok. Tinggal pemulihan saja di rumah.”
“Maafkan kami, Pin. Baru bisa menjengukmu. Aku baru tahu dari Yati kemarin kalau kau masuk rumah sakit. Tapi mendengar kau segera pulang, kami sangat lega,” ujar Tini. Kalimatnya sedikit terpatah-patah.
“Tidak apa-apa, Tin. Oh, iya anak-anak kau tinggalkan?”
“Mereka semua sekolah, Pin. Hanya aku yang libur.”
“Oh iya, aku lupa akan hal itu.” Pinah tidak lupa. Ia hanya merasa canggung untuk kembali berbasa-basi dengan Tini setelah kejadian beberapa saat yang lalu.
“Kita bawa buah, Pin. Aku kupaskan untukmu, ya.” Yati dengan telaten mengupas apel dan memotongnya kecil-kecil. Tanpa menunggu persetujuan Pinah.
Pinah duduk menyandar pada bantal. Tini membantunya.
Dengan penuh kasih sayang, Yati menyuapkan potongan apel ke mulut Pinah. Seperti sedang menyuapi anaknya saja. Begitulah persahabatan mereka yang sebenarnya. Ibarat rantai, sedikit saja renggang mereka segera mengencangkannya kembali.
“Aku pikir kau tak akan pernah menemuiku setelah kejadian itu, Tin. Setiap hari aku memikirkannya. Maafkan aku yang tidak tahu diri.”
“Jangan bicara seperti itu, justru aku yang harusnya minta maaf. Aku yakin karena perkataanku kau jatuh sakit seperti sekarang ini.”
Tini memeluk Pinah sambil menangis haru. Yati turut tenggelam menyaksikan kisah sedih kedua karibnya. Kamar kelas tiga berukuran kecil menjadi saksi hubungan ketiga sahabat itu. Mereka seperti tidak menyadari ada beberapa pasien lain di balik sekat tirai pengganti dinding. Pak Karno yang melihat suasana tersebut meletakkan minuman yang baru dibelinya di atas meja. Dia kembali berinisiatif meninggalkan ruangan.
Kehidupan selalu mengajarkan, bahwa kita tidak akan pernah bisa hidup tanpa orang lain. Sekeras hati menyingkirkannya, semakin kuat pula keyakinan itu, bahwa kita begitu lemah. Sekarang semuanya baik-baik saja, seperti hubungan persahabatan Tini, Pinah dan Yati.
***
Keesokan harinya, Yati dan Tini menyiapkan kejutan kecil-kecilan untuk menyambut kepulangan Pinah. Mereka sudah berkoordinasi dengan Pak Karno kemarin. Para tetangga juga diundang untuk turut merayakan.
Di ruang tamu rumah Pak Karno, lampu hias berkelap-kelip seperti kunang-kunang. Warna-warni bunga turut menghiasi setiap sudut ruangan. Nasi tumpeng lengkap dengan lauk-pauknya mejeng di atas lembaran daun pisang. Siap menunggu untuk dipotong.
Anak-anak dengan bebas bermain petak umpet di pelataran. Tiba-tiba suara sirene ambulans membuat semua orang mencari-cari ke arah bunyi itu berasal. Sebuah mobil berwarna putih yang diyakini sebagai mobil ambulans datang. Ambulans itu terlihat miring karena memang jalanannya menanjak. Wajar saja, karena pemukiman tempat tinggal mereka ada di lereng bukit.
Semua orang menyingkir saat mobil putih itu memasuki halaman rumah Pinah. Lelaki yang terkenal memiliki wajah sangar keluar dari pintu belakang mobil. Pak Karno membopong Pinah yang masih lemah. Kejutan yang sudah disiapkan membuat Pinah dan suami terkesima. Pinah langsung dibaringkan Pak Karno di atas tempat tidurnya di kamar. Acara syukuran segera dimulai. Pak RT membukanya dengan doa. Disusul dengan ucapan terima kasih Pak Karno.
“Sungguh begitu terharu saya melihat semua ini. Kalian memang layak dianggap sebagai keluarga. Ucapan terima kasih saja rasanya tidak akan pernah cukup.” Pak Karno kemudian mengelap air mata haru.
Tempat duduk dibagi menjadi dua kubu. Di samping kanan, untuk laki-laki. Sebelah kirinya perempuan dan anak-anak. Para tetangga bergilir ke kamar Pinah untuk menengok keadaan wanita yang baru keluar dari rumah sakit itu. Harusnya Pinah sudah diperbolehkan pulang sejak pagi. Namun, karena hujan tak kunjung berhenti, akhirnya dia baru bisa pulang malam hari.
Semua orang malam itu benar-benar menikmati masakan pasukan ibu-ibu setempat. Ada beberapa orang yang membungkusnya untuk anggota keluarga yang tidak ikut. Mereka semua pulang dengan senang dalam keadaan perut kenyang. Tentu saja hal itu membuat tidur semakin lelap.