Hari tak terasa sudah berganti. Rasanya baru saja kemarin hari Senin. Akan tetapi sekarang dia datang lagi. Waktunya kembali berjibaku dengan aktivitas yang dilaksanakan secara rutin.
“Ayo, Nak! Buruan jalannya. Kalian nanti bisa ketinggalan upacara,” imbau Tini pada anak kembarnya yang terlihat begitu loyo.
Mata mereka benar-benar tak dapat diajak kompromi. Rasa kantuk menguasai sampai pagi ini. Semalam anak-anak benar-benar kelelahan bermain dengan teman-temannya saat menunggu kepulangan Pinah dari rumah sakit.
Mentari pagi yang belum begitu terik membuat silau pandangan mata. Seperti sebuah balasan karena kemarin hampir seharian terus menerus turun air dari langit. Jalanan di lereng gunung yang menghubungkan Kedrayasa dengan kota Purawa memang sudah diaspal, tetapi tanah dari gunung ketika hujan akan turun ke jalan. Anak-anak Sartini memilih telanjang kaki daripada mengorbankan sepatu mereka harus dipenuhi lumpur.
Takut bernasib seperti teman-teman seumurnya yang sama-sama hidup di lereng gunung. Mereka memaksakan memakai sepatu begitu sampai sekolah menjadi bahan olok-olok teman sekelasnya.
“Dasar anak gunung. Jorok!”
“Monster tanah!”
“Kampungan!”
Kurang lebih seperti itu kalimat yang mereka lontarkan. Lantai kelas juga sering dipenuhi cap sepatu anak gunung. Hal itu cukup merepotkan petugas piket. Untuk itu, anak-anak Tini mencari aman dengan melepas sepatu.
Saat sampai di kota, kaki-kaki kotor itu dibilas dengan air kran yang berada di samping sekolah. Kran itu biasa digunakan office boy mengambil air untuk mengepel. Aliran air meluruhkan kotornya lumpur yang menempel pada kaki mereka.
Tanpa sengaja, Sartini memergoki kedua majikannya keluar dari gerbang sekolah. Dengan ramah, wanita itu menyambangi Pak Bram dan Bu Intan. Namun, lelaki bertubuh tinggi besar itu memilih langsung kembali ke mobil yang terparkir di tepi jalan.
“Maaf Bu, Tadi saya ke rumah. Rupanya Tiara sudah berangkat duluan dengan Mama dan Papanya.”
“Enggak apa-apa, Bu Tini. Sekalian kami mau berangkat ke kantor kok. Bu Tini bawa kunci rumah, ‘kan?”