Cucian kotor sedang digiling di mesin cuci tua. Suaranya kuat membuat berisik telinga. Sembari menunggu cucian untuk dibilas, Tini mengerjakan pekerjaan lain. Asisten rumah tangga itu membersihkan kamar mandi dengan telaten. Menyikat setiap sudut-sudutnya walau sepertinya tidak bernoda.
Lalu menyapu dan mengepel lantai sampai peluh bercucuran sembarangan membalut tubuh wanita itu. Dia benar-benar bekerja keras untuk membuat rumah majikannya bersih dan rapi.
Sartini yang tengah lengah tidak sadar dia sedang mengisi air pada mesin cuci. Mesin itu terus berputar dengan kecepatan tinggi. Air tumpah ruah keluar. Perlahan mengalir membanjiri dapur. Seperti sedang berkejaran, air itu melaju kencang sampai ruang makan. Tini masih belum menyadari hal ganjil yang tiba-tiba menyentuh kakinya. Dia pikir itu hanya air bekas dia mengepel. Namun, air itu bukan sekadar percikan saja. Bahkan terus mengalir deras. Kain pel yang berada di sebelah tangannya, ia hempaskan begitu saja.
Saat masuk ke dapur, wanita itu baru menyadari sepenuhnya. Dari tadi ia mencari sumber air yang membanjiri hampir seluruh ruangan.
“Subhanallah, aku melakukan kesalahan besar.” Tini buru-buru mematikan mesin cuci.
Harusnya pekerjaan sudah selesai. Namun atas kecerobohannya, dia harus kembali membersihkan lantai. Setengah jam lagi anak-anak harus sudah dijemput. Tini setengah berlari membersihkan seluruh ruangan mirip korban kebanjiran.
Wanita itu benar-benar merasa kelelahan. Saat hendak mengambil air minum di dispenser, kaki Tini tersandung sapu. Gelas yang terbuat dari kaca yang dipegangnya, pecah berserakan. Apas benar hari ini, pikirnya.
Hampir-hampir Tini menangis. Pekerjaan yang dia lakukan seperti sia-sia. Dia memunguti beling-beling tajam yang melukai jarinya. Sungguh, dia tidak peduli dengan darah yang keluar sedikit demi sedikit. Entah apa yang berada di dalam tempurung kepala Tini. Sehingga dapat melakukan kecerobohan fatal.
“Sebenarnya apa yang akan terjadi?” Tini merasa tidak enak hati. Anak-anak sudah sampai di rumah. Tini menyembunyikan kesedihan yang terus dia tahan sejak dia menjemput mereka dari sekolah.
“Ibu kenapa mukanya sedih?” tanya Reina sambil menatap dalam ke arah Ibunya.
“Tidak apa-apa, Nak. Ibu hanya merasa lelah saja. Sekarang kalian beristirahatlah! Ibu akan menjemur pakaian.”
Anak-anak melepas seragam sekolah, lalu menggantinya dengan baju bermain. Reino dan Nanda sudah berubah fokus kepada acara robot kesayangan di televisi. Setiap kali acara mulai, mereka tidak akan memperhatikan sekitarnya. Hal tersebut sangat wajar karena di rumah mereka tidak ada televisi.
“Hei, Tiara. Aku mau minjem barbie kamu. Boleh tidak?” Wajah Nindi begitu memelas.