Tiara terbangun dari mimpi panjang. Perutnya begitu lapar. Dia meraih dua lembar roti tawar, selai stroberi dioleskan ke salah satu roti tawar. Kemudian ditumpuknya. Sekejap saja, makanan itu sudah memenuhi mulut mungilnya. Saat mendengar suara teman-temannya di kamar bermain, hati Tiara terasa panas. Sejak tadi dirinya sedang sangat sensitif. Gerakan langkahnya mirip monster yang siap menghancurkan. Pintu didorong dengan kasar.
“Heh! kalian mikir nggak sih. Ini tuh rumah siapa? Udah main seenaknya. Makan semaunya. Berisik sepuasnya. Sebenarnya aku yang punya rumah ini atau kalian?”
Keempat bersaudara itu keheranan melihat perilaku temannya yang mirip orang kesurupan. Mereka sedikit takut, tetapi tetap melanjutkan bermain. Karena merasa diabaikan, Tiara benar-benar tidak bisa tinggal diam. Dia menendang balok yang disusun si kembar Nanda dan Reino dengan susah payah. Saudara kembar itu melotot. Robot kesayangannya jatuh tak beraturan. Lalu Tiara tak segan merampas barbie miliknya dari tangan Nindi dan Reina.
“Tiara, aku masih mau main,” rengek Nindi.
“Kalian masih mau main? Nih lihat!” Boneka barbie itu dimasukkan ke tong sampah.
Nindi menangis mendatangi Reina. Keduanya saling merangkul satu sama lain. Reino merasa tidak terima saudara-saudaranya diperlakukan sekasar itu. Dia bangkit mendorong tubuh Tiara hingga tersungkur ke dinding. Mata gadis itu tajam, semakin ganas. Dia hendak melawan, tapi Nanda sudah mendahuluinya. Gadis kecil itu jatuh terduduk. Perseteruan kemudian kembali terjadi. Aksi dorong mendorong sekarang dilakukan ketiganya. Bagaimanapun Tiara tidak dapat melawan kedua anak laki-laki itu. Sekali lagi dia terjatuh, kali ini pelipisnya menghantam sudut meja. Darah meluncur bebas.
Reina dan Nindi ketakutan. Mereka bermaksud melapor kejadian itu pada ibunya. Namun, langkah keduanya seperti terkunci.
Tini masih asyik menggosok sambil mendengar ceramah Hajjah Nurjanah di radio. Volume dia besarkan, sehingga tidak ada satu suara yang tertangkap oleh telinga selain dari radio milik majikannya itu. Dia sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada anak-anak.
Dengan wajah garang dan darah yang terus mengalir, Tiara menuju Tini. “Bu Tini, Reino sama Nanda jahat.” Tiara menangis tersedu-sedu di hadapan asisten rumah tangga yang masih begitu larut dalam pekerjaannya. Lama-lama lukanya terasa ngilu. Sesekali gadis kecil itu meringis.
Tini begitu syok melihat darah keluar dari pelipis anak majikannya. Radio buru-buru dimatikan. Colokan setrika dia cabut. Dengan sigap Tini meluncur ke kotak obat. Tiara mulai mendapatkan pertolongan pertama. Lukanya dibersihkan dan diberi antiseptik oleh Sartini. Gadis kecil itu meringis perih.
“Tiara makan nasi dulu, ya. Nanti kita bisa ngobrol siapa yang ngelakuin ini ke Tiara.” Tiara menurut saja. Tini dengan telaten menyuapi anak majikannya. Tiara amat lahap. Padahal tadi sudah sempat menghabiskan roti selai stroberi.
Selesai makan, Tini meminta Tiara menceritakan kronologis kejadian yang dialami. Gadis kecil itu tmengatakan bahwa yang melakukannya adalah anak-anak Sartini sendiri. Sartini benar-benar murka terhadap anaknya. Tapi sesaat dia tahan.