Kuncup Berlian

Ais Aisih
Chapter #14

Bagian 14

Pagi yang mendung membuat air dari langit menetes. Embusan angin kencang mengibarkan rintik hujan. Deretan air itu terlihat seperti miring saat diterpa angin. Beruntung Pak Karno berangkat pagi, sehingga Tini dan anak-anaknya bisa menumpang. Sepanjang jalan Kedrayasa-Purawa, warna-warni payung menjadi pemandangan utama. Banyak orang-orang turun ke kota untuk mengais rezeki demi sesuap nasi. Anak-anak yang tetap bersekolah untuk menuntut ilmu demi menerangi Kedrayasa dengan dari gelapnya kebodohan.

Kaki telanjang mereka pamerkan bersama lumpur nakal yang menempel. Masih begitu banyak orang-orang di lereng gunung berjalan kaki saat hendak ke kota. Suhu AC di dalam mobil diatur sesuai cuacanya oleh Pak Karno.

Anak-anak diantar sampai sekolah. Tini turun memayungi mereka agar tidak kebasahan. Lalu wanita itu sendiri minta diturunkan di depan rumah majikannya.

“Terima kasih, Pak.” Tini menutup keras pintu mobil. Pak Karno hanya mengangguk-angguk sembari mengacungkan ibu jari. Walaupun dia bersuara tetap tidak akan terdengar dari luar. Hujan masih menggempur bumi.

Tini bermaksud mengantar Tiara ke sekolah. Namun, gadis kecil itu rupanya masih terbaring di kasur.

“Bu, Tini. Kami mau bicara sebentar,” ajak Bu Intan ke ruang tamu. Pak Bram sudah duduk menunggu di sana.

“Baik, Bu.” Tini tergopoh-gopoh menuju ruang tamu.

“Bu Tini, saya sangat sesalkan insiden kemarin bisa sampai terjadi. Jika hal tersebut menimpa anak Ibu bagaimana?” Pak Bram bersuara.

Tini menangkap nada bicara pak Bram kurang enak didengar. Lain dengan sikapnya yang semalam.

“Saya mohon maaf atas segala kecerobohan yang saya buat, Pak, Bu. Saat kejadian itu saya sedang menggosok pakaian.”

“Bu, kami sudah cukup berbaik hati kepada keluarga Bu Tini. Kami hanya minta Ibu bisa lebih mendidik anak-anak Bu Tini agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan lagi.” Sekarang giliran Bu Intan menyambar.

“Baik, Bu. Sekali lagi saya minta maaf.”

Bu Intan dan suaminya meraih tas kerja masing-masing. Lalu menuju mobil tanpa meninggalkan sepatah kata lagi. Kaki Tini begitu lemas. Tangannya memeluk kaki meja. Meratapi kesalahan yang dibuatnya. Dia tidak tahu bagaimana cara mendidik yang benar menurut kedua majikannya itu.

Tiara memainkan gawai sambil tiduran di kasur. Anak itu sebenarnya sudah boleh sekolah. Hanya saja dia tidak berkehendak. Apalagi kedua orang tuanya, bersikeras agar anaknya banyak beristirahat. Memang begitu berlebihan rasanya jika luka yang sudah sembuh harus dibesar-besarkan. Terlebih lagi kedua majikannya seolah memojokkan Tini dan anak-anaknya. Tini dalam keadaan tersudut, membuat kepalanya sakit. Namun dia harus mampu menahan diri untuk tidak menyalahkan siapa-siapa.

“Nggak baik, Nak, main ponsel sambil tiduran. Selain bisa merusak mata, nanti kepala jadi cepat pusing.” Tini meletakkan nampan berisi semangkuk bubur dan susu di atas meja.

Di luar dugaan, respon Tiara begitu mengejutkan. Dia membanting gawai yang dimainkannya ke lantai. Alhasil, telepon pintar itu retak di bagian layar. Kepala Tini semakin berat melihat kelakuan anak majikan. Dia terus beristigfar mengelus dada. Apa hal seperti ini bisa dikatakan sebagai cara mendidik anak yang benar?

Lihat selengkapnya