Sepertiga malam mampir. Banyak orang tetap terlelap dimabukkan oleh rasa kantuk. Sartini terbangun. Seperti biasa wanita itu ingin mencurahkan apa yang dirasakannya kepada yang maha kuasa.
Salat sunnah dikerjakannya dengan khusyuk. Kini dengan diiringi air mata, Tini menangis sepuasnya. Menyadari betapa dirinya begitu kecil. Dalam kehidupan, semua orang yang memiliki masalah selalu mengatakan ujian Allah begitu besar. Mereka hanya lupa menyampaikan bahwa masalah itu sangat kecil ketika dihadapkan pada Allah. Terlalu sombong apabila tidak melibatkan Allah dalam semua urusan.
Malam ini, entah apa yang salah dengan Sartini. Setelah menyampaikan semua keluh kesahnya kepada Zat yang maha esa, dia justru seperti orang kesurupan. Saat berdoa tadi, bisa jadi setan menyelusup halus ke hati wanita beranak empat itu. Biasanya hati akan tenang saat mengingat Allah. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi pada Sartini? Jangan-jangan setan benar-benar telah menguasai hasratnya. Kepala Sartini mendadak berat. Pikirannya kacau balau. Perasaan Tini amat tidak nyaman.
Ocehan jangkrik malam itu tak membuat siapa pun terusik. Anak-anak Sartini masih terlelap. Tini yang masih mengenakan mukena memukuli kepalanya sendiri. Dia terus menangis seperti tidak lagi dapat berpikir jernih. Perasaannya begitu kalut. Rasa lelah mengurus empat orang anak sendirian menghantui. Ditambah lagi kalimat menyakitkan dari orang-orang kota tentang dirinya. Terutama Pak Bram dan Bu Intan yang dianggapnya begitu bersahaja. Sepotong kalimat yang keluar dari mulut mereka membuat hati Sartini begitu rapuh.
Tini mengambil sebuah tambang yang biasa digunakan untuk mengembala kambing-kambing milik Pak RT. Dia memecutkan tali itu ke tubuhnya. Begitu keras. Anak-anak melawan kantuknya untuk bangun ketika mendengar ibunya merintih kesakitan.
“Ibuuu ....” suara Nindi tak mampu menghentikan ulah ibunya yang terus menyakiti diri sendiri.
“Apa yang terjadi, Bu?” Reino sama paniknya dengan ketiga saudaranya.
Semua memeluk tubuh Tini. Tidak peduli tambang itu mengenai tubuh mereka. Tini menguasai dirinya sebelum anak-anak menjadi korban amukan tali besar itu.
“Ibu, cukup!” Giliran Nanda memohon. Tangisnya pecah melihat tangan ibunya memerah.
Empat bersaudara itu memegangi tubuh ibu kesayangannya. Tini berusaha memberontak. Tapi dia tahu jika anak-anak terpental, mereka akan terluka.
Setelah sedikit tenang, wanita itu duduk di atas ranjang. Tini masih membisu. Reino memberikan segelas air putih pada ibunya yang masih terduduk lemas. Wanita itu sempat menolak. Tapi Reino berhasil meyakinkan Tini membuat air dalam gelas tuntas~menenggaknya hingga tidak tersisa.
Keempat bersaudara itu bersama-sama menuntun ibunya ke ranjang. Hati yang penuh luka tak dapat menguasai. Tini menyebut dirinya sendiri tidak pantas menyandang status ibu. Dia sudah susah payah berusaha. Namun, tidak ada yang menghargainya.
Sempat terlintas pikiran sebuah penyesalan kenapa waktu itu tidak dituruti saja permintaan sahabatnya menawarkan bantuan. Saat itu pula fajar mulai menyapa, Tini segera membawa Pinah ke rumahnya.
“Kau ini kenapa, Tin? Lihatlah matamu sampai bengkak seperti itu.” Pinah menatap karibnya penasaran. Mata Tini yang begitu sembab membuatnya bertanya-tanya.
“Aku hanya kurang tidur, hari ini anak-anak akan kutitipkan pada Pak Karno ke sekolah. Sungguh aku merepotkan keluarga kalian.”