Sore yang tak kunjung mengabarkan gelap. Tini membongkar uang celengan yang dia simpan dalam kaleng bekas biskuit selama berbulan-bulan. Ada rencana menyelinap dalam pikirannya. Hidup terus berjalan ke arah depan. Tini harus lebih berusaha lagi berjuang untuk menunjang kehidupan sehari-hari.
Tini memiliki ide brilian. Dia akan berusaha bangun lebih pagi untuk membuat gorengan. Di lingkungan tempat tinggalnya, orang-orang suka sekali makan gorengan. Itu peluang bagus sebagai usaha Tini. Dia akan berjualan pagi hari, pekerjaan di rumah majikan akan dilakukan siang hari. Ini rencana yang bagus untuk memulainya besok. Tini bisa membicarakannya pada kedua majikannya untuk merealisasikan idenya.
Hari ini kepala sekolah di tempat Reina, Reino, Nindi dan Nanda memanggil Tini ke ruangannya. Kepala sekolah yang usianya masih sangat muda itu mempersilakan duduk.
“Mohon maaf sebelumnya, ada perlu apa saya dipanggil ke sini, Pak?” Tini menarik kursi duduk menghadap kepala sekolah.
“Begini, Bu. Mohon maaf sekali dari pihak sekolah tidak dapat melanjutkan bantuan kurang mampu sepenuhnya untuk ke empat anak ibu. Menurut peraturan pemerintah pusat yang terbaru, satu keluarga hanya satu anak yang berhak menerima.”
Tini begitu terkejut. Dia merasa dunia menjadi sangat sempit. Dadanya sesak. Untuk sekadar makan sehari-hari saja harus setengah mati bekerja. Ditambah lagi ini akan menjadi tambahan beban sebagai tanggung jawab seorang Sartini. Wanita itu hanya menghela napas tipis. “Saya mengerti, Pak. Saya akan berusaha lebih keras lagi untuk keperluan sekolah anak-anak.”
Gurat kesedihan terlihat jelas di wajah wanita tiga puluh lima tahun itu. Kepala sekolah berusia muda itu turut menarik napas. “Kalau Bu Tini tidak keberatan, saya akan membantu untuk membebaskan biaya SPP anak-anak ibu.”
“Terima kasih, Pak. Tapi saya tahu itu akan memberatkan Bapak. Kalau kebijakan pemerintah seperti itu saya ikut saja.”
“Bukan begitu, Bu. Saya menggunakan dana pribadi untuk membantu keluarga ibu. Lagipula, ini bukan hanya dari saya. Ibu saya terlibat dalam hal ini.”
“Masyaa Allah. Benarkah begitu? Saya tidak tahu harus bagaimana, Pak. Rasanya terima kasih saja tidak cukup. Kelak, semoga saya bisa membalas kebaikan Ibu dan Pak Indra. Saya yakin Ibu Anda orang yang sangat baik seperti Anda.”
“Tidak apa-apa, Bu. Kita sama-sama makhluk sosial yang membutuhkan sesamanya.”