Sekarang Tini dapat melalui perjalanan pulang dengan santai. Setelah pekerjaan di rumah Pak Bram membuat tenaganya terkuras. Pagi tadi dia sudah memasak untuk anak-anaknya. Jadi tak perlu khawatir akan ada perut kelaparan. Selama ini yang dirasakannya sebagai beban akan diubah menjadi suntikan semangat.
Tini akan mengubah hidup dengan caranya sendiri. Meluncurkan ide-ide brilian yang bersarang di dalam otak. Untuk menapaki jejak-jejak langkah kehidupan.
Pintu rumah terbuka saat Tini memutar gagang pintu. Dengan senyuman tulus, keempat anaknya berdiri di hadapan sang ibu. Reina dan Nindi mendekap manja pada ibu mereka. Tini terkejut. Rasa ketidakpercayaan menghampirinya. Dia memeluk satu-satu anaknya. Rasa haru disertai mata yang berkaca-kaca menerjang perasaan Tini seketika.
Begitu Sartini menginjakkan kaki pada setiap ruangan, semua sudah tertata rapi. Tidak ada lagi sampah, pakaian kotor maupun piring-piring berserakan. Bagi Sartini anak-anaknya begitu cepat tumbuh dewasa. Baru kemarin dia mengajarkan banyak hal kepada mereka, hari ini semua yang diinginkannya begitu nyata terwujud.
Biasanya dalam keadaan lelah ibu dari ke empat anak-anaknya itu harus bergelut kembali dengan pekerjaan di rumah. Namun, sekarang lihatlah! Baju-baju terlipat di dalam lemari. Walaupun tidak terlalu rapi, Tini amat menghargai kerja keras mereka. Buku-buku tersusun rap di atas meja kecil yang sudah cukup keropos. Ember-ember di kamar mandi juga penuh dengan air.
“Sekarang Ibu beristirahat saja di kamar, kami sudah menyelesaikan semuanya dengan baik,” kata Reino sembari menuntun sang ibu ke kamar.
Di lain sisi, Nanda membawakan segelas air putih. “Minumlah, Bu! Ibu pasti haus setelah menempuh perjalanan melelahkan.”
“Terima kasih, anak-anakku. Kalian adalah cahaya yang terus bersinar dalam kehidupan Ibu.” Kini Tini benar-benar bisa tertidur dengan begitu nyaman.
Sebelumnya, Sartini sama sekali tidak pernah menjamah sekalipun kasur tua miliknya saat siang hari. Biasanya dia akan berkutat kembali dengan segala pekerjaan di rumah. Sungguh beruntung memiliki anak seperti Nanda, Nindi, Reina dan Reino.
Perihnya kehidupan mengajarkan banyak hal kepada anak-anak itu. Mereka cukup mengerti betapa ibunya sangat menderita. Menjadikan rasa iba tumbuh dalam hati. Tidak ada pilihan lain selain menurut apa kata Sartini. Ibu sekaligus ayah bagi anak-anak seusia mereka.
Seketika suara azan dikumandangkan oleh salah seorang warga di surau. Tini langsung terkesiap. Dia duduk sebentar mengumpulkan nyawa. Berdoa setelah bangkit dari tidur. Kemudian meraih cawan di meja yang berisikan air putih. Ditenggaknya air itu hingga tandas. Asar sudah menyapa. Suara Reino dan Nanda sedikit gaduh berebut kain sarung. Mereka akan melaksanakan salat di surau.