Pagi menyapa warga dusun Kedrayasa dengan segala aktivitas. Mentari hangat memeluk mesra permukaan bumi. Tini dan Nindi sudah turun sejak satu jam lalu. Tiga saudara Nindi lainnya berjaga di rumah seperti perjanjian yang telah mereka sepakati bersama.
Hari ini gorengan Tini masih cukup banyak. Hanya sedikit yang terjual di Kedrayasa. Mereka tinggal menjajakan ke kota. Nindi dengan rambut dikucir dua menambah ayu parasnya. Mukanya begitu semringah menemani ibunya berkeliling dusun. Sesekali dia turut berteriak memanggil para pembeli meniru gaya sang ibu.Titik-titik keringat yang tumbuh di dahi gadis kecil itu tidak mengurangi sedikit pun kealamian wajah imutnya.
“Hey, anak manis. Apa kamu enggak merasa capek berjalan?” Goda sang ibu pada Nindi yang membagul nampan.
“Enggak, Bu. Kalo capek nanti Nindi pasti minta untuk beristirahat. Lagi pula kita membawa botol air yang bisa diminum untuk mengurangi rasa capek.”
“Jadi Nindi masih kuat berjalan ke kota? Baiklah kita jalan lagi.”
“Masih dong, Bu.” Gadis itu tertawa renyah, berlari kecil membuat kedua kuciran rambutnya melambai-lambai mengikuti langkah sang ibu.
Di tengah jalan saat menuju komplek perumahan, sebuah mobil berwarna hitam membunyikan klakson. Lalu berhenti di depan Tini dan Nindi.
“Oalah, rupanya kamu sama Pak Karno, Pin. Tadi aku lagi mikir ini kayak mobil yang sering aku lihat. Enggak tahunya kamu langsung turun.” Tini langsung menjabat tangan sahabatnya.
“Iya, Tin. Aku minta suami buat ngantar ke pasar. Nanti keluargaku mau dateng soalnya. Jadi harus masak besar.”
“Eh, Nindi ikut Ibu ya?” Sekarang fokus Pinah berlari ke Nindi setelah matanya menangkap gadis kecil yang sedikit terhalang tubuh Tini.
“I-iya, Bu Pinah.” Nindi menyalami Pinah ramah. Setelah itu dia kembali bersembunyi di belakang ibunya. Rasa takut akan diadopsi Pinah kembali mampir ke dalam benak bocah polos itu.
“Loh, kamu enggak kasihan sama Nindi, Tin? Apa mendingan dia aku ajak pulang saja naik mobil?”
“Ooh dia yang mau ikut. Kalau aku terserah anaknya saja.”
“Nindi senang kok, Bu Pinah. Bisa ikut jualan sama ibu.” Anak kecil itu menyahut tetap dalam keadaan bersembunyi.
“Loh, kok Nindi di situ terus. Sini deh, Bu Pinah punya buah loh.” Pinah mengambil dua butir jeruk dalam keranjang belanjaannya yang berada di kursi mobil bagian belakang.
Atas saran ibunya, Nindi akhirnya keluar dari balik persembunyian. Tadinya dia kekeh untuk berlindung diri di belakang tubuh sang ibu. Setelah menerima dua buah jeruk dan satu apel, gadis itu tidak lupa mengucapkan terima kasih dengan suara lirih.
“Makasih banyak loh, Pin. Untuk ke sekian kalinya kamu baik pada keluargaku. Aku cuma punya gorengan ini.” Tini menyerahkan kantong keresek kecil berisi bakwan dan gorengan tempe.
“Walah ... ini 'kan buat dijual, Tin. Enggak perlu repot-repot seperti ini.”
“Aku yang sering bikin repot kamu kok, Pin. Kebetulan masih cukup banyak jualannya.”