Anak-anak Sartini kembali berangkat ke sekolah setelah masa liburan usai. Hari ini mereka akan melakukan ujian kenaikan kelas. Pak Karno dengan senang hati selalu setia menjadi sopir gratisan. Suami Pinah itu seperti mengantar anak-anaknya sendiri. Sementara Tini menolak ikut mobil Pak Karno karena harus berjualan terlebih dahulu.
Mentari yang kian menampakkan sinarnya menyertai langkah Tini. Seperti biasa, dia keliling kampung terlebih dahulu sebelum turun ke kota. Yati sudah menunggu untuk membeli beberapa gorengan dari Tini.
“Tin, sudah laku banyak hari ini?” tanya Yati yang memang dari tadi tengah menunggu karibnya itu datang.
“Alhamdulillah, Yat. Sekarang kamu jarang sekali kelihatan.” Tini menurunkan bakul. “Pilih sendiri mau yang mana aja.”
Yati menurut, dia mengambil lima bakwan dan dua tempe mendoan. “Aku di rumah saja loh, Tin. Kamunya saja yang terlalu sibuk. Sering-seringlah ke sini Tin.”
“Insyaa Allah, Yat. Aku harus turun sekarang. Takut kesiangan.”
“Iya, Tin. Pasti pelangganmu di kota sudah banyak yang menunggu.” Sambil menjinjing bakul, Tini berpamitan kepada karibnya yang masih berdiri menunggu Tini berlalu.
Orang-orang di jalanan berlalu lalang seperti hari-hari biasa. Kebanyakan dari mereka turun ke kota mengadu nasib. Hal sama dengan yang dilakukan Sartini. Mereka rela berjalan jauh untuk menyambung hidupnya. Mengisi perut yang lapar.
Di komplek perumahan, Tini sudah cukup mendapatkan banyak pelanggan. Dia tidak akan terlambat ke tempat majikannya. Jualan Tini selalu habis sebelum jam sembilan pagi. Sekarang Tiara ke sekolah selalu diantar oleh ayahnya.
Usai jualan Tini dikagetkan dengan sosok Hajah Nurjanah yang sedang duduk di beranda rumah majikannya. Pikiran tidak enak menyelinap di kepala Sartini. Bagaimana bisa Bu Hajah menikmati secangkir kopi ditemani koran duduk bersantai di rumah orang. Terlepas dari itu semua, Tini tetap berlaku ramah dengan menyalami orang tua itu.
“Tadi ada pesan dari Kepala Sekolah. Kau harus ke sana sekarang, Nak,” kata Bu Hajah dengan tetap santai menyeruput kopinya.
Tini merasa kebingungan. Dari kemarin dia tidak mendapat pemberitahuan apa pun. Dia berpikir Bu Hajah sedang bercanda.
“Loh kok malah ngelamun? Nggak yakin sama omongan saya?”
“Eh, bukan begitu, Bu. Baik, saya akan ke sana sekarang.”
Bu Hajah hanya tersenyum melihat Tini yang menuruti perkataannya. Tini meletakkan bakul tempat gorengan di teras. Hatinya masih terus bertanya-tanya, kenapa Bu Hajah bisa sebebas itu di rumah majikannya? Biar begitu, dirinya tetap tak dapat menolak permintaan orang tua itu untuk segera ke sekolah.
Sesampainya di sekolah, Tini langsung bergegas ke ruangan Pak Indra. Di sana pria muda berkaca mata itu sudah menunggu. Pria muda yang dipanggil kepala sekolah itu mempersilakan Tini duduk.
“Langsung saja, Bu. Saya akan membebaskan segala biaya sekolah untuk ke empat anak Ibu. Seperti yang sudah pernah saya katakan beberapa waktu lalu, bantuan ini tidak sepenuhnya dari saya. Tapi ibu kandung saya sendiri yang menginginkannya. Dengan penuh rasa hormat, silakan Bu Tini bisa menandatangani surat perjanjian ini.” Lelaki muda yang sebenarnya lebih cocok menjadi mahasiswa itu menyodorkan secarik kertas.