Tini hendak mengangkat jemuran kering. Tapi sudah tidak ada di luar. Seluruh pakaian yang dicarinya ternyata sudah masuk ke keranjang. Wanita itu tersenyum sendiri. Sudah pasti kedua gadis kecil pintar nan menggemaskan yang melakukannya.
Tunggu dulu, tiba-tiba Tini menemukan kejanggalan. Sesuatu sepertinya telah terjadi. Dia melihat potongan kain setengah gosong menempel pada setrikaan. Janda itu pun menepuk jidat. Panik bukan main. Ada lima potong baju milik majikannya yang berlubang oleh panasnya gosokan. Dua pakaian milik Tiara dan tiga milik Bu Intan.
Sekarang dalam bayangan Tini adalah wajah garang Bu Intan yang siap menerkam. Sambil terus mengelus dada Tini melanjutkan pekerjaan menggosok pakaian. Air matanya banjir. Kemudian Tini membangunkan Reina dan Tiara. Hendak menanyai perihal apa yang membuat mereka melakukan ini setelah nyawa mereka benar-benar terkumpul.
“Reina dan Tiara, apa yang terjadi saat Ibu tidur tadi?” Kedua gadis kecil itu saling menyikut.
Reina membuka suara. “Karena kita tahu Ibu sakit, jadi niatnya mau membantu pekerjaan Ibu. Tapi malah semua jadi berantakan. Maafkan kami, Bu.”
“Tapi kami enggak bermaksud membuat kekacauan. Hanya butuh sedikit belajar lebih baik lagi,” sahut Tiara.
Sartini tahu mereka tidak sepenuhnya bersalah. Dia juga bersalah karena keenakan tidur sehingga tidak mengawasi yang dilakukan dua gadis kecil itu. Terlebih lagi tujuan anak-anak itu adalah hal baik. Ingin membantu meringankan pekerjaan. Maka, Sartini harus bisa maklum. Akan tetapi, dia harus siap menanggung semua risiko yang akan terjadi.
“Tapi kalian harus tetap bertanggung jawab atas perbuatan kalian.”
Keduanya hanya menunduk sedih. Mereka tahu akan kesalahannya. Reina dan Tiara tidak menganggap Tini sedang memarahinya. Itu hanya sebuah teguran yang memang seharusnya dilakukan orang dewasa mana pun.
“Maafin Reina, ya Bu.” Reina memeluk ibunya dari belakang.
“Sekarang kalian bantu ibu membereskan semuanya. Sebagai bentuk pertanggungjawaban.”
Reina dan Tiara menurut. Keduanya mengikuti semua instruksi Tini. Ketika Tini hendak mengambil minum demi membasahi keringnya tenggorokan, isi dalam lemari es bak kapal pecah.
“Apa lagi ini?” Tini menarik napas dalam. Dapur juga terlihat seperti habis terjadi peperangan. Wanita itu hanya bisa bergumam dalam hati. Ternyata selain masalah baju berlubang ada lagi yang lain. Tini segera menghampiri kedua gadis kecil.
“Selain membuat lubang pada pakaian, apa yang dilakukan Reina sama Tiara?” Selembut mungkin Tini bertanya. Dia tidak akan pernah bisa marah kepada anak kecil. Bagaimanapun juga dia tersangka pertama yang harus diadili. Terlalu asyik tidur sampai membuat lengah.
“Kami mengacaukan isi dapur karena ingin masak buat Bu Tini yang sakit. Karena merasa lelah, tanpa membereskan isi kulkas kami tiduran di depan TV sampai benar-benar tertidur,” ujar Tiara sedikit tertatih.
“Ya, tadi Ibu tidak sengaja menginjak cangkang telur yang tercecer di lantai dapur. Tapi tidak menemukan telur yang kalian masak. Apa ada lagi?” lanjut interogasi Tini.
“Kita juga enggak sengaja mematahkan tempat jemuran, Bu. Saat sedang mengangkat pakaian kering, baju yang dipakai Tiara menyangkut pada sudut besi, kita berdua menariknya dengan keras. Tiba-tiba malah kaki jemurannya patah.” Giliran Reina menjelaskan cukup panjang.
Tini dengan perlahan membuka tudung saji. Di sana ada tiga telur ceplok gosong, bentuknya pun tidak beraturan. Alih-alih bukan merasa jengkel, Tini justeru senyum-senyum sendiri. Bagaimanapun dia harus menghargai anak-anak telah berjuang untuk menyenangkan dirinya.
“Sekarang Tiara membereskan kulkas, ibu akan memberi tahu caranya. Ini bukan hukuman. Tapi sebagai bentuk tanggung jawab kalian.”