Cukup siang Tini baru mampu menghabiskan jualannya. Dia memang sengaja membuat gorengan jauh lebih banyak dari hari biasa. Orang-orang hari ini banyak yang di rumah karena hari Minggu. Terutama di kalangan orang komplek yang rata-rata memang seorang pegawai. Berbeda dengan kehidupan kelas bawah, seperti Sartini dan para tetangga, bekerja tak kenal waktu demi terpenuhinya tuntutan perut lapar mereka.
Sartini sudah berada di depan rumah majikannya. Bukan untuk bekerja, melainkan ingin meminta maaf. Dia melihat dua mobil milik majikannya ada di balik gerbang, itu berarti mereka ada di rumah. Dengan kesungguhan hati, Sartini memasuki rumah orang kaya itu.
“Bu Tini? Loh sekarang bukannya libur?” Wajah Tiara begitu riang melihat Tini datang.
“Hai, Tiara. Liburannya di rumah saja? Bu Tini mau ketemu sama papa, mama, boleh?”
“Oh boleh, Bu. Tiara emang hari ini nggak pengen kemana-mana. Sebentar, Tiara panggil mama sama papa dulu.”
Belum juga dipanggil, kedua orang tua Tiara keluar menampakkan batang hidungnya. Tiara merasa harus mengundurkan diri karena ini pasti obrolan orang dewasa.
“Kedatangan saya kemari mau minta maaf soal kemarin, Pak, Bu.”
“Oh, sudah kami bicarakan kok, Bu. Yang penting jangan diulangi lagi,” ucap Pak Bram.
Wajah Bu Intan masih terlihat kesal, tetapi sedikit terlihat lebih baik. Dia hanya melirik sinis ke arah Tini. Tentu saja amarahnya masih berkobar dalam hati. Tiga pakaian mahal kesayangannya sia-sia terbakar. Bahkan gaji Tini selama setahun saja belum bisa untuk menggantinya.
“Sekali lagi saya minta maaf, Bu Intan. Saya rela dihukum apa saja untuk menebus kesalahan yang telah saya perbuat.”
“Enggak boleh!” Ternyata diam-diam Tiara sedang menguping di balik dinding. Dia kemudian muncul di tengah tiga orang dewasa yang berada dalam rumahnya. “Kan Tiara sudah bilang kalau yang ngerusak baju mama bukan Bu Tini.”
“Iya, Sayang. Bu Tini enggak akan resign kok. Sekarang Tiara masuk ke kamar dulu, ya,” titah Pak Bram pada putrinya. Sejak semalam Tiara merengek agar papanya bisa memastikan Bu Tini tidak akan keluar dari pekerjaan.
“Iya, Pa.” Tiara kembali ke kamar dengan tidak semangat.
“Bu Tini sudah denger, ‘kan? Tiara masih mau ibu bertahan di sini. Saya anggap udah clear semua, ya,” kata Pak Bram bijak.