Tini melihat keseluruhan foto dalam album. Sampai pada lembaran terakhir yang merupakan foto satu keluarga. Ada dua anak yang berpose duduk, salah satunya adalah Pak Indra. Satunya lagi berwajah tidak asing, posturnya lebih tinggi dari Pak Indra. Di belakang mereka seorang bapak-bapak berdiri bersama Bu Hajah. Mereka semua mengenakan baju seragaman berwarna putih.
“Yang bapak-bapak itu mendiang ayah saya, Bu Tini. Dan yang duduk di samping saya adalah kakak saya. Foto itu diambil saat lebaran sepuluh tahun lalu.”
“Maaf, saya hari ini seperti banyak mendapat kejutan tak terduga. Tidak pernah disangka, ternyata malaikat baik yang membantu keperluan sekolah anak-anak saya adalah Bu Hajah.” Tini hampir menelurkan butiran air mata haru. Bibirnya bergetar. “Saya tidak tahu bagaimana membalas budi.”
“Tidak perlu begitu. Ini sudah menjadi kewajiban kita sesama umat muslim,” ucap Bu Hajah santai.
Tini hanya mengangguk dan berkali-kali mengucapkan kalimat terima kasih. Dia baru berhenti saat Bu Hajah memintanya untuk tidak mengulanginya terus.
“Maaf, Bu. Apa saya mengenal kakak dari Pak Indra? Sepertinya wajah itu tidak terlihat asing.” Bu Hajah kemudian tertawa. Disusul putranya yang masih duduk di sampingnya.
“Tentu saja kau selalu berjumpa dengan dia.” Bu Hajah kembali tertawa. Menyerahkan album satunya lagi. Tini semakin bingung. Selama ini dia jarang sekali bertemu dengan orang lain. Bagaimana bisa sering bertemu dengan orang dalam foto tersebut. Mungkinkah akan ada kejutan lain lagi kali ini?
“Itu foto-foto terbaru kami dari tiga tahun lalu. Kau akan terkejut lagi. Karena kakak dari Indra yang berada di dalam album itu akan langsung kau kenali.”
Tini dengan tidak sabaran membuka album foto itu berwarna putih dengan ukiran bunga lili yang indah. Dia langsung melotot melihat foto majikannya, Pak Bram. Dalam foto, majikannya itu berdiri berjajar dengan Pak Indra serta ibunya. Tini masih membelalakkan mata, menelan ludah.
Pantas saja, Bu Hajah kemarin sangat santai di rumah majikannya. Ternyata itu rumah anaknya sendiri. Sampai-sampai Tini sempat berpikir negatif tentang idolanya itu. Segala keresahan sekarang terjawab sudah.
“Masyaa Allah, saya tidak pernah tahu kalau Pak Bram adalah putra Bu Hajah. Maafkan saya.”
“Mas Bram memang kakak saya, Bu. Usia kami terpaut cukup jauh,” sahut pak Indra meyakinkan.
“Benar, Bram adalah putra pertamaku. Tiara adalah cucuku, dan Intan menantuku,” tambah Bu Hajah diiringi senyum.
“Tapi maaf, kenapa tidak ada yang memberi tahu saya dari awal?”
“Karena pada akhirnya kau akan tahu dengan sendirinya. Dengan begitu kau juga mau menginjakkan kaki di rumah ini.” Bu Hajah terkekeh mengakhiri obrolan.
Para tamu mulai berdatangan. Entah bagaimana perasaan Tini sekarang. Antara takjub, kaget dan tidak percaya. Dia seperti menemukan jawaban dari sebuah drama yang sering ditontonnya di televisi. Segalanya hari ini terjawab sudah. Bu Intan dengan style gamis modis datang bersama Tiara yang diikuti Pak Bram dari belakang. Tini menelan ludah. Ternyata selama ini dia berada di tengah-tengah keluarga besar idolanya.