Tini sedang asyik membersihkan kloset. Menyikati lantai dan dindingnya sampai terlihat mengkilap. Dari luar seperti terdengar suara ketukan pintu. Bel sedang rusak. Indra pendengaran Tini memang cukup tajam. Dia bergegas mencuci tangan dan mengeringkannya dengan lap. Langsung bergerak cepat membukakan pintu.
“Bu Hajah? Maaf, saya sedikit kaget. Silakan masuk!” Tini agak canggung setelah kejadian kemarin.
“Santai saja, Nak. Apa kau masih belum cukup dengan keterkejutan kemarin?" candanya. "Aku ke sini membawa makanan untukmu.”
“Untuk saya, Bu?” Jelas Tini merasa terharu, bagaimana bisa dia diperlakukan begitu baik oleh Bu Hajah. Tadinya Tini mengira makanan itu untuk keluarga majikannya.
“Ambil saja, lagi pula kalau dikasih ke Bram dan Intan belum tentu dimakan. Malah mubazir nanti.”
“Baik, Bu. Sekali lagi terima kasih banyak.”
“Sama-sama. Saya harus pulang terlebih dahulu, masih ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.” Bu Hajah menepuk bahu Tini lembut.
Tini tidak sabar membuka rantang. Perutnya tadi pagi hanya terisi satu bakwan sisa jualan. Masih lapar. Dalam wadah terbuat dari stainless itu ternyata berisi kolak biji salak. Menggoda gairah makan Tini. Perlahan bulatan-bulatan ubi itu dikunyah dan ditelan oleh Tini. Lezat.
Cuaca di luar begitu panas. Pendingin ruangan sampai tak terasa. Keringat bercucuran dari segala penjuru tubuh seorang Sartini. Tubuh ringkih itu benar-benar kelelahan. Sekarang giliran Nanda yang akan menemani Tini bekerja sepulang sekolah. Sementara si kembar tiga harus berjalan pulang di bawah terik matahari menyengat selepas sekolah. Tini sebagai sorang ibu sungguh merasa iba. Namun, dia sadar diri tak dapat membawa semua anaknya. Lebih tepatnya tidak mau membuat geger lagi di istana milik majikannya.
Biarlah anak-anak itu belajar menjadi seorang pejuang yang tangguh. Kaki-kaki mereka akan kuat melangkah ke manapun. Bumi yang mereka pijak akan menjadi saksi kehidupan kelak. Betapa perih perjuangan keluarga Sartini untuk dapat merasakan nikmatnya bernapas. Anak-anak Sartini terdidik secara alami oleh jari-jemari alam.
Mobil Bu Intan sudah terpakir rapi di halaman. Beberapa hari ini memang dia selalu pulang lebih awal. Bu Intan sedang asyik mengetik di laptop ketika Tiara baru pulang sekolah bersama Nanda dan ibunya. Tini menyambut kepulangan mereka.
Hanya Tiara yang direspon Bu Intan ketika mereka masuk ke dalam rumah dan mengucapkan salam. Nanda tak dianggap. Tini menepuk-nepuk bahu putranya, berharap dia tidak akan berpikir macam-macam.
Semenjak kejadian pakain bolong karena setrika, sikap Bu Intan memang banyak berubah. Tapi itu tidak berpengaruh apa pun terhadap Tini dan keluarganya. Tini tetap bekerja seperti biasa.
Selain menjadi acuh, sikap Bu Intan juga terlihat sangat risi melihat Tini dan anaknya. Akan tetapi Tiara memberi perlakuan yang berbeda terhadap teman-temannya. Dia tetap mengajak Nanda bermain.
Saat Tini membersihkan ruang tamu, di sana masih ada sang majikan. Bu Intan entah kenapa selalu menutupi hidungnya saat berada di dekat pembantunya itu. Tini menjadi merasa tak nyaman. Bu Intan bangkit dari duduk dan menjinjing komputer lipat miliknya. Wanita sinis itu hendak masuk ke kamar.
“Bu Tini kalau sudah selesai semua pekerjaan boleh pulang.” Agak keras, pintu kamar ditutup oleh Bu Intan.