Pagi ini Tini terpaksa tidak berjualan karena bangun kesiangan. Setengah enam Tini yang biasanya sudah siap-siap berkeliling memasarkan gorengan baru terbangun. Tidak seperti orang lain yang bisa menggunakan ponsel atau jam beker untuk membangunkan. Tini hanya mengandalkan alarm dalam tubuh. Dia sudah terbiasa bangun jam tiga pagi. Namun, malam ini entah apa yang membuatnya begitu terlelap dalam tidur. Sampai azan subuh pun tak dapat didengarnya. Mungkin setan berhasil mengencingi salah saty telinga orang tua single itu.
Tini bergegas membangunkan anak-anak. Dirinya segera menunaikan salat subuh. Lalu memasak nasi dan telur ceplok untuk sarapan.
“Ibu hari ini tidak jualan?” tanya Reino.
“Iya, Nak. Hari ini ibu libur berjualan." Tini tidak menampakkan penyesalan di depan anak-anak. Padahal dia tahu, hasil dari jualannya bisa digunakan untuk tambahan membeli bahan makanan sehari-hari. Mungkin kali ini bukan rezeki Sartini.
Pagi ini, Tini bisa ikut mobil Pak Karno bersama anak-anak. Mereka sudah bukan lagi seperti tetangga, melainkan keluarga sendiri. Terkadang Tini suka memberikan gorengan gratis kepada Pinah dan Pak Karno atas dasar membalas kebaikan mereka selama ini. Sebenarnya bagi Tini itu tidaklah cukup. Dia ingin bisa memberikan lebih dari itu untuk sahabat karibnya. Apalah daya kemampuan belum ada.
Dalam perjalanan menuju rumah majikan, Tini selalu berpapasan dengan pelanggan. Mereka semua bertanya kenapa Tini tidak berjualan hari. Akhirnya, Tini memberi pengertian dan berjanji besok pasti akan menjajakan gorengan lagi seperti biasa.
Semerbak bunga lavender tercium menyengat masuk ke dalam lubang hidung Sartini. Aromanya menyebar sampai jalanan komplek. Begitu masuk rumah besar itu, Tini terbatuk-batuk. Dia juga tidak berhenti bersin. Wangi yang tidak sesuai porsi membuat kepala pusing. Tenggorokan seperti terbakar. Harusnya wanginya menyenangkan kalau penggunaan sesuai takaran.
Sudah setengah jam, tidak juga hilang semerbak wewangian di dalam rumah majikan Sartini. Bahkan, sampai kembalinya Tini menjemput Reino dan Tiara. Tini lalu membuka semua pintu dan jendela. Seluruh pendingin ruangan dimatikan. Berharap wewangian itu sedikit berkurang.
“Sebenarnya, kemarin mama beli parfum mahal. Terus disemprotkan ke seluruh ruangan.” Tiara menjelaskan kepada Tini. Anak kecil itu juga terbatuk-batuk.
“Wanginya enak, tapi kalo kebanyakan begini malah bikin pusing.” Tini memegangi kepala.
“Memang kenapa sih, mama Tiara kok sampai menyemprot minyak wangi segala?” tanya Reino penasaran.
“Soalnya kata mama seluruh ruangan bau keringatnya ibu kamu.” Tiara yang masih amat lugu tidak menyadari kejujurannya membuat seseorang terluka.
Tini memasang muka sedih. Dia tidak habis pikir dirinya menyebabkan majikannya melakukan ini semua. Biasanya tidak pernah ada komplain semacam ini. Hanya saja, memang kemarin Tini bekerja cukup keras. Ditambah lagi cuaca panas yang begitu ekstrem. Produksi keringatnya lebih banyak dan berbau tajam.
“Tapi aku nggak mencium bau keringat ibu.” Reino memberi pembelaan. Dia tahu ibunya sedih.
“Tiara juga nggak merasakannya. Emang mama aja sih yang suka berlebihan.”
Tini tersenyum pada Reino dan Tiara. Mengusap-usap kepala mereka. Ingin sekali Reino memeluk ibunya. Akan tetapi, itu tidak akan dia lakukan di depan Tiara. Dia merasa malu pada sahabatnya.