Dalam lamunan, Tini dikagetkan dengan sebuah mobil sport yang sering dilihatnya di kota. Keempat roda besar-besar itu meninggalkan jejak pada tanah becek. Di depan rumah Sartini, mobil itu bertengger dengan gagah. Dari balik kaca jendela ruang tamu, Sartini mengamati dengan saksama. Siapa gerangan tamu yang datang pada sore ini?
Tak disangka-sangka tamu itu adalah Bu Hajah Nurjanah, sang motivator hidup bagi Tini. Pria muda berkacamata yang merupakan sang anak, memayungi Bu Hajah, mendampingi wanita tua itu berjalan ke arah pintu rumah sederhana milik Sartini. Sebelum pintu diketuk, Tini siaga membukakan.
“Saya kaget loh, belum mengucapan salam sudah dibukakan pintu." Bu Hajah menyungging senyum.
"Assalamualaikum.” Bu Hajah memberi salam diikuti putranya di belakang.
“Wa’alaikumussalam. Maaf Bu, saya tidak sengaja melihat mobil berhenti. Jadi berinisiatif langsung membukakan pintu. Sama sekali tidak ada niat membuat Ibu kaget.” Tini dengan amat ramah mempersilakan tamunya masuk.
“Ibu hanya bercanda, Bu Tini.” Pak Indra menjelaskan dengan santun. Dibubuhi senyuman lembut.
“Sungguh saya merasa tidak enak,” ungkap Tini sungkan.
“Santai saja, kita sudah cukup lama mengenal satu sama lain. Tidak perlu merasa tidak enak, Bu,” kata Pak Indra kembali.
“Betul, Nak. Kita sudah menganggap kamu dan anak-anak seperti keluarga. Loh, bicara soal anak-anak, di mana mereka?”
Bu Hajah mencari celah suara makhluk-makhluk mungil. Namun, senyap yang didapat. Sesekali melempar pandang ke sekitarnya. Barangkali menemukan sosok-sosok mungil itu. Akan tetapi tidak didapatkannya. Tatapannya kemudian menjadi prihatin menemukan dinding-dinding dari bilik bambu yang sudah dimakan rayap.
“Mereka masih tidur. Tampaknya kelelahan setelah bermain gundu seharian.” Suara Tini mengalihkan pandangan Bu Hajah.
“Ya sudah, tak apa. Sebenarnya kita berdua datang kemari ada perlu sama kamu, Nak.” Bu Hajah menarik napasnya panjang-panjang. Kemudian melirik pada Pak Indra.
“Oh, ya? Maaf, maksudnya bagaimana, Bu?” tanya Tini sedikit tak mengerti. Benaknya mulai bermunculan tanda tanya. Dilihat dari gerak-gerik kedua tamunya terlihat ada hal penting yang akan dibicarakan. Namun, Tini sama sekali tidak mampu menerkanya.
“Indra, apa kau mau menyampaikannya sendiri?” Bu Hajah menyuruh putranya bersuara.
“Saya percayakan semua pada Ibu,” jawab Pak Indra. Suaranya terdengar pasrah.
“Baiklah, Nak. Sebelumnya kami berdua minta maaf. Takut kalau kau menjadi tersinggung. Tapi niat kami insyaa Allah baik. Kalau kau dan anak-anakmu berkenan, aku ingin menjodohkanmu dengan Indra, putra ragilku.”
“A-pa? Saya, Bu?” Tini tak percaya. Bagaimana bisa meraka punya niata semacam itu. Untuk membayangkannya saja Tini tidak berani.
“Maaf membuatmu terkejut. Kami sudah membicarakan semuanya jauh-jauh hari. Kau tak perlu memberi jawaban sekarang. Kau bisa salat Istiqoroh dulu. Mohonlah pada Allah petunjuk,” imbau Bu Hajah tenang.
Tini menelan ludah. Bagaimana bisa orang besar seperti tamunya itu mau melamar dirinya yang begitu miskin. Lagi pula kepala sekolah muda itu tampan, mapan, tentu bisa mendapatkan wanita mana pun yang dia inginkan. Akan tetapi, kenapa harus seorang Sartini yang usianya cukup jauh dari pemuda itu. Janda beranak empat itu terus beristigfar dalam hati.
“Saya tidak tahu harus berbicara apa, Bu. Pak Indra dan Bu Hajah sudah sangat baik kepada keluarga saya. Tapi saya sungguh merasa rendah diri jika menerima semua ini. Terlebih lagi Anda berdua tahu latar belakang keluarga saya.”
“Nak, niat kami begitu tulus. Justru karena kami sudah mengenal baik engkau dan anak-anak. Tiga hari lagi aku menunggu kau membuat keputusan.”
“Baiklah, Bu. Saya akan meminta pilihan terbaik dari Allah selama waktu yang ditentukan.”
Pak Indra sedari tadi tidak berkutik. Ini memang bukan sepenuhnya keinginan kepala sekolah muda itu. Dia hanya ingin menghormati keinginan sang ibu. Akan tetapi, jauh dalam hatinya juga ada keinginan meyelamatkan Tini dan keluarga dari keterpurukan. Dia ingin menyempurnakan separo agamanya.