Bukan hanya Bu Hajah dan Pak Indra saja yang banyak merenung setelah acara lamaran itu. Tini pun banyak melamun di kamarnya. Sudah tepatkah keputusannya menolak maksud baik mereka?
Hati Tini dihujani dengan berbagai macam perasaan bersalah. Akankah tercipta jarak pada hubungan mereka yang sudah terjalin cukup baik?
Sartini selalu merasa tidak enak hati kalau saat berjualan harus melintas di depan rumah Pak Bram maupun rumah Bu Hajah. Seperti hari ini, dia memandang penuh kesenduan saat melintas di depan dua rumah besar itu.
"Mereka orang-orang yang sangat baik. Semoga Allah selalu memberikan rahmat dan karunia pada keluarga besar Bu Hajah," gumam Tini sambil memegang tas besar berisi baju-baju yang dijualnya. Dalam gendongannya berisi bakul yang dipenuhi dengan aneka macam gorengan.
Penjualan pakaian muslim yang dilakukan Sartini dan kedua karibnya begitu melejit. Orang-orang dari luar banyak yang mengantre pesanan kepada ketiganya. Jangan ditanya mereka semua bisa meraih info dari mana. Yati sudah begitu lihai bermain sosial media sekarang. Dia juga sering mencantumkan nama Tini dan Pinah sebagai rekan marketing pada sosial media miliknya.
Belum lagi pelanggan Tini dan Pinah yang menyampaikan dari mulut ke mulut kepada orang-orang bahwa baju gamis yang dijual oleh mereka sangat layak diperhitungkan. Kualitas yang bagus dengan harga terjangkau menjadi incaran banyak umat.
Memang tidak selalu jualan mereka laris manis. Pasang surut pun mereka tetap lalui. Namun, dengan segala semangat dan dukungan satu dengan yang lain, bisnis yang mereka jalani sekarang tetap berjalan. Bahkan, melesat.
Ada kalanya manusia merasa lelah ketika harus meng-handle semua bisnisnya. Sama halnya seperti Tini yang sebenarnya ingin fokus pada jualan bajunya. Namun, pelanggan gorengan yang setia menanti Sartini setiap pagi tidak rela jika Tini harus berhenti.
Dengan segala kekuatan yang dimiliki, Sartini tetap berjualan gorengan. Akan tetapi sekarang dia mengurangi jumlah dagangannya. Penjualan baju sudah lebih dari cukup untuk menghidupi keluarganya. Dia merasa tidak perlu serakah. Akhirnya Tini menitipkan gorengan-gorengan itu hanya di warung-warung. Selebihnya, dia benar-benar fokus dengan bisnis bajunya.
“Tin. Aku sarankan kau untuk membeli telepon genggam dan laptop. Aku yang akan mengajarimu. Sangat disayangkan jika sudah banyak ikan yang mampu kau jala, tetapi tidak kau jaga. Mereka bisa terlepas kapan saja.” Yati menarik napas. “Setidaknya biarkan pelangganmu memiliki kontak untuk bisa menghubungimu kapan saja. Itu akan mempermudah kau berkomunikasi. Kalau semua pelangganmu dan pelanggan Pinah menghubungiku, terus terang saja aku merasa tidak sanggup. Aku kewalahan sendiri.”
“Aku sudah memikirkan jauh-jauh hari tentang hal itu, Yat. Tabunganku pun sudah bisa memenuhi kalau hanya untuk membeli laptop atau ponsel saja. Aku memikirkan sekolah anak-anak. Aku kepingin mereka mondok. Jadi, aku khawatir kalau uangnya dipakai, mereka tidak bisa mondok."
Selama ini bantuan dari kepala sekolah tetap berjalan. Jadi urusan sekolah anak-anaknya aman-aman saja. Tini merasa tidak enak. Walau Pak Indra dan ibunya sama sekali merasa tak direpotkan, Tini merasa tak bisa terus bergantung. Karena Bu Hajah tetap memaksa agar Tini menerima bantuan darinya dan Pak Indra, dia bisa menabung.
Dia juga berpikir anak-anaknya harus mendapat asupan ilmu agama yang cukup untuk bekal ke akhirat. Dia tidak ingin anak-anak meniru dirinya. Bodoh, tidak bersekolah dan sebatang kara.